Kendari. Bentara Timur. Dua anak korban perkosaan di Kota Baubau, Indah (9) dan Dewi (4), bukan nama sebenarnya, berada dalam kondisi memprihatinkan. Keduanya terindikasi mengalami trauma pasca perkosaan yang dialami Desember 2022.
Keduanya enggan beraktivitas di luar rumah, mereka ketakutan karena para terduga pelaku pemerkosa masih bebas berkeliaran. Mereka hanya mengurung diri, menangis, berteriak juga melamun. Indah bahkan memutuskan tak lagi mau ke sekolah.
Lantaran itu pula, SA ibu Indah dan Dewi, meninggalkan rumah mereka, dan memilih tempat yang lebih aman. Keputusan ini juga diambil sebagai langkah untuk bersembunyi dari orang tidak dikenal yang kerap mencari Indah dan Dewi.
Kata kuasa hukum korban, Safrin Salam, situasi ini pun memaksa SA memutuskan berhenti berdagang sayuran di pasar. Kini SA, fokus menjaga anak-anaknya. Padahal, berdagang sayuran menjadi mata pencaharian satu-satunya. SA, ibu tunggal dengan 5 anak.
Setelah tidak berdagang di pasar dan pindah tempat, beberapa orang tidak dikenal mencari tahu keberadaan mereka dengan menanyai tetangga pedagang di pasar.
” Tidak tahu siapa orangnya, tanyakan di mana tinggalnya korban dan ibunya,” kata Safrin menyampaikan cerita pedagang sayur, tetangga SA di pasar
Selain itu, SA juga pernah menerima telepon dari seseorang yang tidak bersedia menyebutkan namanya menanyakan tempat mereka sekarang, dan bagaimana kondisi korban. Terdengar orang itu berbicara dengan suara seorang perempuan.
“Orang itu sempat mengaku katanya dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A). Kita sudah konfirmasi, DP3A belum mengkonfirmasi kembali soal itu. Kalaupun benar itu tidak etis, harusnya komunikasi soal korban lewat kuasa hukum bukan ke ibunya,” kata Safrin.
Kuasa Hukum Sebut Kejanggalan Penetapan Tersangka Rudapaksa Anak di Baubau
IPW Sebut Polisi Tidak Profesional Tangani Kasus Kekerasan Seksual Anak di Baubau
SA, merawat sendiri anak-anaknya yang belakangan silih berganti jatuh sakit. Menurut Safrin, kondisi kesehatan Dewi sedang memburuk. Dia mengalami sakit demam disertai mual-mual.
Sebelumnya, anak laki-lakinya juga jatuh sakit. Namun begitu, SA tidak bisa membawa mereka berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan dikarenakan terkendala biaya.
“Ibunya hanya memberi minum obat Dewi pakai obat yang dikonsumsi saudara lelakinya. Ia tidak punya uang mau beli obat,” jelas Safrin
Sejak berhenti berjualan, tidak ada lagi sumber pemasukan buat menopang hidup. SA kini mengantungkan kebutuhan keluarganya dari bantuan orang yang peduli pada kasus ini.
Melalui kuasa hukumnya, SA mengaku saat ini kelimpungan lantaran masalah yang menderanya. Satu soal dua anaknya yang jadi korban kekerasan seksual. Lalu anak lelaki sulungnya AL, yang ditersangkakan sebagai pelaku perkosaan pada dua adiknya. AL diketahui sempat mendekam di penjara lebih dari 20 hari. Kini AL sudah berkumpul dengan keluarganya karena mendapat penangguhan penahanan.
Kompolnas Awasi Kinerja Polisi Tangani Kasus Kekerasan Seksual Anak di Baubau
Dampak Jangka Panjang Akibat Trauma
Safrin Salam menyatakan kondisi memprihatinkan, dua anak SA, korban perkosaan harus segera mendapat penanganan serius pasca peristiwa perkosaan. Bahkan menurutnya bukan hanya korban yang perlu mendapatkan pertolongan, SA sebagai ibu korban juga patut mendapat pendampingan psikolog.
Terhitung baru dua kali pendampin psikologi oleh psikolog DP3A Kota Baubau datang bertemu korban. Namun, psikolog tidak memberi penjelasan pasti kepada kuasa hukum mengenai hasil pendampingan tersebut.
“Pendampingan itu sepertinya bukan terapi psikologi, tapi hanya asesmen. Psikolognya juga bilang mereka sementara asesmen. Jadi belum tahu bagaimana perkembangan kondisi psikologi korban,” jelasnya.
Kepala DP3A Kota Baubau, Wa Ode Muhibbah Suryani, merespon pesan singkat soal permintaan konfirmasi mengenai pendampingan pihaknya pada Senin (6/3), mengatakan masih sedang mengikuti suatu kegiatan.
“Mohon maaf saya lagi ada kegiatan pak,” pesan singkat Muhibbah.
Ahli psikolog Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Yuliastri Ambar Pambudhi, menerangkan gangguan psikologi akibat tindak kekerasan seksual dapat berdampak buruk jangka panjang bila tidak ditangani dengan baik sejak awal.
Kata Yuliastri, dampak buruk pada korban ditandai mulai dari adanya gangguan emosional yang bergejolak hingga gangguan perilaku. Keadaan ini sangat memungkinkan dialami korban kekerasan seksual anak.
Gangguan emosional dilatari akibat tekanan mental sehingga membuat korban merasa trauma, stres, takut secara berlebihan, tidak percaya pada orang lain, sampai mudah marah.
Yuliastri menyebut ketakutan seperti yang dirasa kedua korban bisa menjadi berlipat. Sebab, sebelumnya keduanya mengaku tidak hanya mengalami tindak kekerasan seksual, tetapi juga mendapat ancaman dari para pelaku.
“Korban akan lebih sensitif, mudah marah, mungkin dikasih tahu ngga mau mendengar. Itu karena sudah hilang kepercayaan dengan orang dewasa di sekelilingnya. Korban lebih khawatir jangan sampai orang-orang ini juga akan memperlakukan hal yang sama,” terangnya.
Gangguan emosional korban akibat tekanan bisa tertanam di bawah alam sadar dan melepaskannya dalam keadaan tertidur, seperti dialami Dewi, kata Yuliastri.
Yuliastri, mengatakan korban anak sangat perlu didampingi dengan harus meyakinkannya bahwa ia merasa aman dan nyaman ketika berada di manapun.
Apabila gangguan psikologi anak tidak tertangani secara baik, maka dapat berdampak buruk pada tumbuh kembangnya. kondisi gangguan emosional yang dialami korban dapat berkembang buruk menjadi gangguan perilaku.
Gangguan perilaku anak ini bisa ikut mengganggu pendidikannya. Dimana korban akan malas bersekolah dan belajar. Selain itu, korban juga berubah menjadi pribadi yang nakal, suka membangkang, sulit dinasehati, serta mengurung diri.
Katanya, jika korban anak terlihat dalam kondisi baik, ceria, aktif bermain bukan jaminan kalau si anak tidak mengalami gangguan psikologi. Karena memungkinkan itu hanya untuk menutupi keadaan sebenarnya.
“Anak mempunyai karakter pintar memendam atau menyembunyikan sesuatu dalam hatinya. Apa yang disembunyikan bisa terlihat saat usianya beranjak remaja atau dewasa.”
Setengah Hati Pemerintah Penuhi Hak-Hak Korban
DP3A melalui lembaga satuan kerja Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) memiliki tanggung jawab pokok menyelenggarakan pelayanan terhadap perempuan dan anak yang mengalami tindak kekerasan. Ketentuan itu sesuai Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pedoman Pembentukan UPTD PPA.
Bentuk pelayanan UPTD PPA di antaranya adalah memberi pendampingan korban berupa, pendampingan hukum, pendampingan psikologi, pemberian perlindungan khusus, pemberian layanan penampungan sementara, dan pemberian perlindungan dari ancaman yang membahayakan diri dan jiwa.
Tugas UPTD PPA ini ditujukan untuk memastikan keterpenuhan atas seluruh hak-hak korban, seperti diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Adapun hak-hak korban yang tercantum pada pasal 66 hingga 77 UU TPKS meliputi, hak penanganan, yakni hak yang diberikan untuk mendapat pelayanan kesehatan, rehabilitasi sosial, penegakan hukum, layanan hukum, dan reintegrasi sosial.
Berikutnya, hak perlindungan, berupa perlindungan dari ancaman atau kekerasan pelaku dan pihak lain serta berulangnya kekerasan. Selain itu, korban harus mendapat perlindungan atas kehilangan pendidikan. Juga dilindungi dari tuntutan pidana atau perdata atas tindakan kekerasan seksual yang dilaporkan.
Ketentuan lain dalam beleid itu menyebutkan korban mempunyai hak terlindungi dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkannya.
Terakhir, hak pemulihan, dilakukan untuk mengembalikan kondisi fisik, mental, spiritual, dan sosial korban. Bentuk pemulihannya antara lain- rehabilitasi medis, rehabilitasi mental dan sosial, pemberdayaan sosial, restitusi atau kompensasi, dan reintegrasi sosial.
Dalam UU TPKS pula mengatur mengenai hak keluarga korban yang harus dilindungi keamanan pribadinya. Serta bebas dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang akan, sedang, dan sudah diberikan. Ketentuan itu menegaskan jika keluarga korban berhak untuk tidak dituntut pidana dan perdata atas laporan tindak pidana kekerasan seksual.
Kata Safrin, sejauh ini korban masih banyak belum mendapatkan bantuan pendampingan. Terutama bantuan pelayanan kesehatan, perlindungan maupun pendampingan hukum. Rumah aman yang juga pernah dijanjikan DP3A hingga kini belum terealisasi.
Padahal, Safrin menegaskan bahwa hal itu paling dibutuhkan korban saat ini sebagai jaminan perlindungan untuk menghadirkan rasa aman.
Penulis : Muhlas