Suku Bugis yang ada di Sulawesi Selatan mengenal lima gender sekaligus di dalam kehidupan masyarakatnya. Padahal, konstruksi masyarakat biasanya hanya mengenal dua gender saja, yaitu maskulin dan juga feminim. Kedua identitas ini melekat pada masyarakat bahwa maskulin adalah simbol dari seorang laki-laki dan feminim adalah simbol dari seorang perempuan. Hal ini juga yang menjadi salah satu alasan mengapa perundungan dan intoleransi masih ada kepada seseorang yang mencoba untuk mengekspresikan dirinya di luar kedua simbol tersebut. Suku Bugis ini mengenal gender di samping laki-laki dan perempuan. Mungkin aneh kedengarannya, tapi hal ini memang benar. Bahkan, sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Nah, berikut ulasan tentang lima gender dalam Suku Bugis yang disadur dari berbagai sumber.
1. Orowane (laki-laki)
Sebutan laki-laki dalam bahasa bugis adalah orowane. Tuntutan yang biasanya melekat pada setiap laki-laki adalah harus tampak maskulin dan tegas, selain itu laki-laki yang telah berkeluarga dianggap bertanggungjawab penuh terhadap nafkah keluarganya.
2. Makkunrai (perempuan)
Makkunrai adalah sebutan perempuan dalam bahasa bugis. Kata Makkunrai sendiri diambil dari busana rok ala wanita yang disebut unre. Kedudukan perempuan dalam suku Bugis sangat dihargai dan dianggap sebagai martabat keluarga. Oleh karena itu, masyarakat bugis mengenal uang panai’ atau mahar yang harus dikeluarkan laki-laki untuk menikahi seorang perempuan. Nominalnya beragam tergantung status sosial si perempuan yang ingin dinikahi.
3. Calabai
Selain gender laki-laki dan perempuan, Suku Bugis juga mengenal satu gender lain yang disebut dengan Calabai. Calabai adalah orang yang dilahirkan dengan kondisi biologis sebagai seorang laki-laki tapi dalam kesehariannya berperilaku seperti perempuan. Walaupun demikian, masyarakat di Suku Bugis tetap menganggap mereka sebagai seorang laki-laki. Laman BBC mengatakan bahwa Calabai ini tidak menyamar sebagai seorang perempuan, tapi memperlihatkan perilaku feminim mereka sendiri, seperti memakai rok mini, merokok, dan bertindak dengan cara yang lebih seksual secara lahiriah. Mereka juga banyak yang memanjangkan rambut, memakai riasan, sampai bekerja di salon kecantikan
4. Calalai
Calalai adalah kebalikan dari Calabai, karena mereka adalah sebutan untuk kaum perempuan yang memiliki perilaku seperti laki-laki dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Secara tradisional, mereka juga mengambil peran gender laki-laki. Mereka juga mungkin menggunakan kemeja dan celana panjang, merokok, rambut pendek, dan melakukan pekerjaan sehari-hari. Walaupun demikian, masyarakat di Suku Bugis tetap memandang mereka sebagai seorang perempuan. Hanya saja, mereka mempunyai sikap dan sifat yang dimiliki oleh perempuan pada umumnya. Kaum Calalai ini juga tidak menganggap diri mereka sendiri sebagai seorang laki-laki.
5. Bissu
Berbeda dengan keempat gender yang telah disebutkan sebelumnya. Untuk menjadi seorang bissu, jika dia terlahir sebagai seorang laki-laki maka dia harus berkepribadian perempuan, begitu pula sebaliknya. Bissu dianggap sebagai perpaduan dari semua gender diatas dan dikatakan tidak tertarik kepada laki-laki ataupun perempuan.
Dalam suku bugis sendiri, bissu memiliki posisi yang penting dan terhormat, dahulu saat sulawesi selatan masih berbentuk kerajaan, bissu lah yang dipercaya untuk menjaga pusaka kerajaan. Bissu dikatakan sebagai sebagai figur spiritual yang menghubungkan manusia dengan dewa.
Bukan hanya institusi pemerintahan atau perusahaan yang memiliki tingkatan-tingkatan kekuasaan, tetapi bissu juga memiliki tingkatan tertentu seperti yang dilansir oleh Lokadata yaitu; yang tertinggi adalah puang matoa, puang lolo, jennang, bissu, bissu pance, ana’ bissu, bissu malolo, bissu patudang, maujangka dan cole-cole (pelengkap). Masih dilansir oleh lokadata.id, ada sebelas syarat untuk menjadi kepala bissu atau puang matoa, yaitu
- Memiliki ilmu tingkat tinggi
- Bissu harus bisa berkomunikasi dengan roh leluhur atau memiliki indra ke-enam
- Memiliki kesaktian, seperti menghentikan atau mendatangkan hujan
- Jadi suri tauladan
- Pandai mengambil keputusan
- Mampu memelihara pusaka
- Orang yang dituakan di masyarakat
- Cepat mengambil kesimpulan
- Tidak boleh meninggalkan rumah arajang, kecuali ada hubungannya dengan ritual adat
- Perintah puang matoa tidak boleh ditolak, selama ada hubungannya dengan ritual bissu
- Puang matoa hanya bisa digantikan puang lolo untuk urusan adat di luar rumah arajang
Hingga saat ini, komunitas bissu tetap ada di Sulawesi Selatan meski tentunya tidak sebanyak dahulu lagi. Jumlah bissu semakin sedikit seiring zaman yang semakin modern. Apalagi para bissu yang kerap kali disamakan dengan waria, padahal bissu sudah ada sejak zaman kerajaan dan menjadi kepercayaan raja. Hanya orang-orang terpilih yang bisa melakukan hal itu.
Sayangnya, populasi kelima gender tersebut semakin berkurang seiring berjalannya waktu. Selain itu, peran mereka juga tidak signifikan seperti di zaman dahulu. Hal tersebut diduga sebagai akibat dari kolonisasi Eropa dan masuknya agama Abrahamik (Islam, Kristen, dan Yahudi) ke Sulawesi Selatan. Penurunan jumlah bissu juga banyak dipengaruhi oleh serangan DI/TII di Sulawesi Selatan pimpinan Kahar Muzakkar, saat itu para bissu banyak dibunuh dan sebagian lain dipaksa untuk menanggalkan status bissunya dan kembali menjadi laki-laki atau perempuan sesuai dengan kondisi biologis saat mereka lahir.
Reporter: Rekha Afrianti