Pada siang hari di pertengahan Desember 1992, hempasan gelombang tinggi yang bersumber dari gempa tektonik berkekuatan 7,8 skala richter mengguncang Laut Flores, menimbulkan gelombang besar menerjang sejauh 200 mil ke arah utara hingga mencapai Desa Wantopi di pesisir Buton Tengah, Kabupaten Buton Selatan, Sulawesi Tenggara.
Aisyah (61) yang ketika itu sedang berjalan-jalan kaki diantara rumah-rumah panggung non permanen, ikut hanyut terhempas gelombang yang datang secara tiba-tiba. Sebanyak bangunan 125 rumah warga terdampak, yang sebagian diantara hanyut tak berbekas dan sebagian lainnya porak poranda.
Hempasan gelombang yang setinggi leher membuat ia terhempas beberapa meter. Aisyah dan warga-warga lain yang terjebak gelombang bertahan dengan cara berenang dan ada juga yang berpegangan di tiang-tiang rumah. Bahkan ia melihat ada orang-orang yang berlomba memanjat pohon kelapa untuk menyelamatkan diri.
Aisyah berenang dengan nafas tersengal-sengal dengan perut membuncit sedang hamil tua delapan bulan. Ketika itu, yang ada dalam benaknya adalah bagaimana menyelamatkan dua anak kecilnya yang sedang ditinggal bermain di dalam rumah. Sementara suaminya sedang dalam perantauan di Pulau Ambon.
Gelombang itu hanya sesaat lalu kemudian surut tanpa bekas, sejauh mata memandang. Laut yang awalnya biru, mendandak kering menjadi daratan berwarna-warni. Terlihat hamparan lamun, pasir dan karang dengan dengan gradasi warna hijau – cokelat kehitam-hitaman dan aneka warna lain.
Beruntung, ia mendapati kedua anaknya dalam keadaan selamat di rumah yang mengalami kerusakan cukup parah. Tidak mau menunggu lama, Asiyah segera mengemas barang-barang penting dan pakaian secukupnya.
Sambil menggendong anak, menenteng buntalan sarung berisi barang berharga dan pakaian, dan tangan lainnya menarik-memaksa anak sulungnya berlari sekencang mungkin bersama warga-warga lain menyelamatkan diri ke atas tubir karang terdekat di area pesisir.
Tidak lama kemudian, gelombang serupa kembali menerjang berulang-ulang sebanyak tujuh kali. Potongan-potongan bangunan rumah kayu yang hanyut menjadi pemandangan paling mengerikan, yang pernah disaksikan Aisyah dan kedua anaknya yang masih kecil.
“Kejadian saat itu ditandai air pasang sampai naik kedaratan hingga mecapai leher orang dewasa. Lalu surut kembali. Kejadian itu berulang-ulang tujuh kali” katanya.
Para warga yang menyelamatkan diri masih dibuat bingung dengan kondisi yang barusan mereka alami. Pasalnya beberapa saat sebelum gelombang tak bertuan itu menerjang, mereka melihat segerombolan burung berwarna hitam mendadak datang dari arah selatan. Jenis burung tersebut tidak dikenali dan tidak pernah terlihat berada di daratan Mawasangka.
“Orang dari luar kampung yang datang kasih tahu kita’itu tsunami dari Flores’ katanya, dia nonton berita di televisi”, ingat Asiyah.
Tsunami membuat warga meninggalkan pulau pasir Wantopi, lebih memilih menetap di atas tubir karang pesisir Buton Tengah.
Hardiansyah (36) yang saat itu berumur tujuh tahun sedang berjalan pulang menuju rumah hendak makan siang, usai bermain dengan teman-temannya, di Desa Pongkaelero, Kecematan Kabaena Selatan, yang berhadapan dengan laut Flores. Tanah tempat berpijaknya mendadang berguncang. Hardiyansah berlari sekuat tenaga, berkosentrasi menjaga keseimbangan tubuhnya hingga masuk ke dalam rumah.
“Mama…sudah mau kiamat. Air dilaut sudah habis” teriaknya sambil menangis ketakutan mendekap ibunya, kenang Hardiansyah sambil tertawa mengingat betapa masa itu sangat menakutkan.
“itu air laut surut jauh sekali, sampai keliatan itu ikan-ikan melompat-lompat di pasir. Itu Keliatan semua itu terumbu karang..kering laut”
Hardiansyah mengisahkan jika banyak orang lari berhamburan keluar rumah kebingungan. Wajah ketakukan terlihat dimana-mana. Tidak satupun warga yang berani mendekati laut.
“Itu hari kita dirumah sudah berkemas-kemas, sambil menunggu bapak ku pulang dari kebun” ingatnya. Dalam beberapa saat hitungan beberapa menit, terjadi beberapa kali gempa susulan. Tapi tidak sedahsyat gempa pertama.
Sementara di Kepulauan Wakatobi, yang juga berjarak sekitar 200-an mil dari pusat gempa, Fadli (38) yang saat itu seorang bocah laki-laki suku Bajo berumur 10 tahun, yang sedang asik menyelam berburu-memanah ikan diantara terumbu karang pada perairan laut yang dangkal, tidak jauh pemukiman bajo Mola, pesisir pulau Wangi-wangi di Kabupaten Wakatobi.
Tak ingin kehabisan oksigen, Fadli bergegas naik ke permukaan untuk menunjukan ikan hasil buruannya ke rekan melautnya.
Ia kaget melihat perahu yang dikemudi temannya menjauh dari titik labuh sebelumnya.
“Teman saya itu memanggil-manggil ‘mari cepat kita pulang, ada ombak besar datang ini’ sambil da mendayung ambil saya” kenang Faldi. Mereka kemudian bergegas mendayung perahu ke pemukiman Bajo.
Sesampainya di perkampungan Bajo, mereka mendapati warga sedang panik-paniknya. Hampir setiap rumah tangga berkumpul di atas satu perahu dikolong-kolong rumah kayu panggung yang berdiri kokok dilaut. Dalam perahu terdapat sedikit tumpukan barang dan pakaian seadanya.
Fadli dan rekannya berpencar lari kerumah masing-masing. Sesegara mungkin berkumpul bersama keluarganya.
“jangkar perahu dibuang ke dasar laut. Perahu juga diikat ke tiang rumah kuat-kuat supaya tidak terbawa ombak besar”
Dalam ingatanya, sebanyak enam gelombang besar berulang-ulang datang menyapu kampung Bajo saat orang sekampung sudah berada di atas perahu keluarga masing-masing.
Kesaksian warga di kampung yang berbeda tidak jauh dari pemukiman Bajo Mola mengisahkan, gelombang naik ke perkampungan di sepanjang area pesisir pulau.
Indonesia bagian timur adalah sarang gempa. Terutama Nusa Tenggara, karena secara geologi masuk dalam zona tumbukan antara lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Di dasar laut Flores terdapat sesar yang hampir sejajar dengan garis pantai Pulau Flores. Aktifitas tektonik di Nusa Tenggara cukup tinggi.
Selama abad ke-20 terjadi 14 gempa besar. Tiga di antaranya memicu tsunami. Pada Oktober 1977 gempa dengan magnitudo 5,9 yang lalu diikuti menerjang Sumbawa. Hanya berselang sepuluh tahun kemudian di November 1987, Pulau Flores bagian timur diporakporanda gempa dan tsunami.
Dari keselurah gempa di abad ke-20, gempa Laut Flores pada 1992 adalah yang paling mematikan. Asal gempa yang di Laut Flores itu adalah Flores Back Arc Thrust atau jamak dikenal sebagai sesar naik Flores. Sesar yang sama menjadi penyebab rentetan gempa besar di Lombok pada Agustus 2018.
Dalam berbagai laporan dan ramai di pemberitaan ketika itu, yang paling mengalami kerusakan paling parah terjadi di Teluk Maumere dan Teluk Hading di wilayah Larantuka. Daya rusak tsunami kian besar lantara gelombang masuk ke teluk yang menyempit. Dilaporkan tiga kampung di Flores Timur lenyap disapu gelombang.
Tsunami adalah serangkaian peristiwa bersamaan antara gelombang dan ombak laut sehingga menimbulkan pergeseran lempeng di dasar laut sebagai bentuk akibat dari gempa bumi yang sebelumnya terjadi.
Dikutip dari laman Tirto.id, bencana genpa-tsunami kala itu menewaskan lebih dari 2.000 jiwa. Tercata 500 orang hilang, 477 orang luka-lka, dan 5.000 orang mengungsi. Diperkirakan 18.000 rumah, 113 sekolah, dan 90 tempat ibadah hancur.
Di Pulau Babi, yang terletak di utara Teluk Maumere dalam hitungan singkat berubah menjadi puing usai diguncang gempa. Di sini terdapat perkampungan orang Buton.
Peristiwa gempa-tsunami di Flores tidak terdokumentasi dengan baik di ketika itu. Dikutip dari nationalgeographic.co.id, hingga tahun 1992, Indonesia belum mememilik ahli tsunami, sehingga riset soal tsunami Flores lebih banyak dilakukan para ahli Jepang. Nanti setelah tsunami Aceh, perhatian kalangan ilmuwan Indonesia terhadap tsunami baru terbangkitkan.
Reporter: Riza Salman