Kendari, bentaratimur.id – Bupati Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Rusman Emba diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rusman diperiksa sebagai saksi kasus suap pengajuan pinjaman dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk Kabupaten Kolaka Timur tahun 2021.
Pemeriksaan terhadap Bupati Muna tersebut dibenarkan Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri.
“Pemeriksaan dilakukan di Kantor KPK,” ujar Ali lewat pesan whatsapp messenger, Rabu (15/6/2022).
Selain itu, KPK juga memanggil Teller Smartdeal Money Changer Widya Lutfi Anggraeni Hertesti dan seorang pihak swasta Budi Susanto untuk diperiksa sebagai saksi.
Kemudian tim penyidik juga memanggil empat orang lainnya yang diperiksa sebagai saksi di Kantor Subdit Tipikor Ditreskrimsus Polda Sultra.
Para saksi yang diperiksa ialah Direktur PT Muria Wajo Mandiri Mujeri Dachri Muchlis yang juga suami Bupati nonaktif Kolaka Timur Andi Merya Nur, Kepala Bappeda Litbang Kabupaten Kolaka Timur periode 2016-2021 Mustakim Darwis.
Kemudian Staf Bangwil Bappeda Litbang Kabupaten Kolaka Timur Harisman, dan honorer di Bagian Umum Pemkab Kolaka Timur Hermawansyah.
Ali mengungkapkan pihaknya juga memeriksa Andi Merya Nur selaku mantan Bupati Kolaka Timur.
“Pemeriksaan dilakukan di Lapas Perempuan Kelas IIIA Kendari,” ujarnya.
Terkait kasus dugaan suap pengajuan pinjaman dana PEN ini, KPK telah menetapkan empat orang tersangka. Terbaru, KPK menetapkan adik Bupati Muna, Rusman Emba yakni, LM Rusdianto Emba sebagai tersangka.
Dimana sebelumnya, KPK lebih dulu menentapkan tiga orang tersangka. Adapun, ketiga tersangka tersebut yakni, mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Keuangan Daerah (Keuda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), M Ardian Noervianto, mantan Bupati Kolaka Timur, Andi Merya Nur, serta Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Muna, Laode M Syukur Akbar.
Dalam perkara ini, Ardian dan Laode Syukur Akbar diduga telah menerima suap terkait pengajuan dana PEN untuk Kabupaten Kolaka Timur tahun 2021. Keduanya menerima suap sejumlah Rp2 miliar dari Bupati Kolaka Timur, Andi Merya Nur.
Ardian diduga mendapat jatah sekira 131.000 dolar Singapura atau setara dengan Rp1,5 miliar dari total uang suap Rp2 miliar. Sedangkan Syukur Akbar kecipratan uang suap Rp500 juta. Uang suap sebesar Rp2 miliar itu disetorkan Andi Merya Nur ke rekening Syukur Akbar.
Atas penerimaan uang tersebut, Ardian Noervianto kemudian mengupayakan agar permohonan pinjaman dana PEN yang diajukan Andi Merya Nur disetujui. Alhasil, dana PEN untuk Kolaka Timur disetujui dengan adanya bubuhan paraf Ardian pada draft final surat Menteri Dalam Negeri ke Menteri Keuangan.
Atas perbuatannya, Andi Merya Nur sebagai pihak yang diduga pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan Ardian dan Syukur Akbar sebagai pihak penerima suap disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Reporter : R. Hafid