Kendari. Bentara Timur – Gelombang protes besar-besaran menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dari berbagai elemen turut terjadi di Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).
Sekitar 2 ribuan massa berdemonstrasi menyuarakan keluhan dan penolakan RUU Cipta Kerja ke gedung DPRD Sultra Kamis (8/10/2020), berujung anarkis. Demonstrasi ini dilakukan di tengah kasus positif pandemi Covid-19 yang semakin tinggi. Demi menyuarakan penolakan terhadap Rancangan Undang-undang Cipta Kerja ini, mereka meresikokan diri dengan ancaman virus corona.
Dalam aksi tersebut Tujuh mahasiswa yang diduga terlibat kericuhan diciduk aparat kepolisian. Akibat kericuhan itu juga itu kaca-kaca jendela di gedung wakil rakyat pecah dilempari batu, sejumlah rambu-rambu lalu lintas di sepanjang jalan Ahmad Yani, juga dirusak oleh demonstran.
“Totalnya ada 7 mahasiswa kami amankan untuk interogasi.” ujar Pelaksana harian (Plh) Kepala Bidang (Kabid) Hubungan Masyarakat (Humas) Polda Sultra Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) La Ode Proyek saat dikonfirmasi Kamis malam melalui sambungan telepon.
Menurut proyek dalam aksi unjuk rasa itu dua polisi mengalami luka. Sedangkan di kubu demonstran puluhan mengalami luka-luka. Pengamanan aksi sendiri katanya melibatkan 2/3 kekuatan kepolisian.
Amatan awak media ini, massa dari berbagai elemen terdiri dari mahasiswa lintas kampus, organisasi dan buruh berdatangan jelang tengah hari, sekitar pukul 11.00 Wita di simpang empat Jalan Ahmad Yani. Massa membawa poster dan spanduk bertuliskan sindiran dan kekecewaan terhadap para wakil rakyat yang menyetujui RUU Cipta Kerja. Mereka juga membakar ban sebagai wujud perlawanan.
Tepat tengah hari demonstran mulai merangsek masuk ke gedung DPRD. Di sini berbagai elemen demonstran kembali berorasi. Bendera merah putih dikibarkan bahkan pekikan revolusi di teriakan lantang.
Ketua DPRD Sultra Abdurrahman Saleh, yang berada di gedung DPRD menemui massa untuk mendengar keluhan mereka terkait RUU Cipta Kerja. Kepada demonstran politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini turut menyatakan penolakanya atas RUU Cipta Kerja yang disahkan anggota DPR RI 5 Oktober lalu.
“Saya bersama-sama rakyat Sultra menolak Omnibus Law ini karena tidak berpihak kepada rakyat. Kami akan bersurat ke pemerintah pusat berkait penolakan ini” hidup buruh, hidup revolusi, pekik Rahman di tengah kerumunan massa.
Usai diterima dan menyampaikan aspirasinya ke Ketua DPRD, perlahan situasi massa mulai kondusif, sebagian massa akhirnya memilih pulang. Namun tak sedikit juga demonstran memilih bertahan. Pantauan awak media ini, kericuhan terjadi dipicu oleh demonstran yang masih berada di luar areal gedung DPRD. Lemparan batu, kayu bahkan botol air mineral menghujani gedung DPRD. Aksi ini pun memancing massa lainya dan akhirnya kerusuhan tak terelakan.
Barikade polisi yang awalnya berada di dalam areal gedung DPRD lalu menembakan gas air mata ke arah demonstran. Polisi dan massa saling serang. Mahasiswa menghujani polisi dengan lemparan batu. Polisi membalas dengan gas air mata dan water canon. Begitu seterusnya, sampai akhirnya jelang magrib, polisi menghujani pendemo dengan tembakan gas air mata.
“Sudah bubar tidak ada ada lagi di sekitar DPRD. Kita pukul mundur ada di sekitar Hotel Plaza Inn tapi jumlahnya sedikit. Massa berkumpul di area MT Haryono,” terang La Ode Proyek .
Omnibus Law Merugikan Pekerja dan Ancam Demokratisasi Penyiaran
Istilah Omnibus Law mengemuka ketika Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato pasca dilantik sebagai Presiden untuk kedua kalinya pada Minggu 20 Oktober 20219. Pada kesempatan itu Jokowi mengajak DPR membahas sejumlah undang-undang yang akan menjadi Omnibus Law.
Secara definisi Omnibus Law merupakan aturan yang dirancang untuk menyasar isu besar satu negara. Omnibus Law berfungsi untuk merampingkan regulasi dan menyederhanakan peraturan. Satu regulasi baru dibentuk menggantikan lebih dari satu regulasi lain yang sudah berlaku.
Ketua AJI Indonesia, Abdul Manan menilai pengesahan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja dilakukan secara tergesa-gesa, tidak transparan dan mengabaikan aspirasi publik yang terdampak langsung oleh regulasi ini diantranya buruh.
Manan mempertanyakan sikap DPR dan pemerintah yang tetap ngotot melakukan pembahasan saat negara menghadapi pandemi. Saat undang-undang ini disahkan, kasus infeksi sudah lebih dari 311 ribu dan lebih dari 11 ribu meninggal.
“Sikap ngotot pemerintah dan DPR ini menimbulkan pertanyaan soal apa motif sebenarnya dari pembuat undang-undang. Kami menilai pembahasan yang cenderung tidak transparan karena pemerintah ingin memberikan insentif yang besar kepada penguasa agar investasi ini makin besar meski mengorbankan kepentingan buruh dan membahayakan lingkungan hidup,” terang Manan dalam keterangan resminya, 7 Oktober lalu.
AJI Indonesia mengecam pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja karena merevisi pasal-pasal dalam Undang Undang Ketenagakerjaan yang justru mengurangi kesejahteraan dan membuat posisi buruh lebih lemah posisinya dalam relasi ketenagakerjaan. Hal ini ditunjukkan dari revisi sejumlah pasal tentang pengupahan, ketentuan pemutusan hubungan kerja, ketentuan libur dan pekerja kontrak. Omnibus law ini membolehkan PHK dengan alasan efisiensi.
Omnibus Law juga menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak dan menyerahkan pengaturannya melalui Peraturan Pemerintah. Praktek ini tentu saja bisa merugikan pekerja media yang cukup banyak tidak berstatus pekerja tetap.
“Ketentuan baru ini membuat status kontrak semacam ini akan semakin luas dan merugikan pekerja media. Omnibus law juga mengurangi hari libur, dari semula bisa dua hari selama seminggu, kini hanya 1 hari dalam seminggu. Pasal soal cuti panjang juga dihapus dan menyebut soal pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus,” urai Manan.
Omnibus Law juga menghapus pasal sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan, Ini bisa menjadikan kesejahteraan jurnalis makin tidak menentu karena peluang pengusaha memberikan upah layak semakin jauh karena tidak ada lagi ketentuan soal sanksi.
Mengecam pengesahan Omnibus Law karena merevisi Undang Undang Penyiaran dengan ketentuan baru yang tidak sejalan dengan semangat demokratisasi di dunia penyiaran. Omnibus Law ini akan membolehkan dunia penyiaran bersiaran secara nasional, sesuatu yang dianggap melanggar oleh Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Padahal, larangan siaran nasional ini justru untuk mendorong semangat demokratisasi penyiaran, yaitu memberi ruang pada budaya dan ekonomi lokal bertumbuh.
Omnibus Law juga memberi kewenangan besar kepada pemerintah mengatur penyiaran. Sebab, pasal 34 yang mengatur peran KPI dalam proses perizinan penyiaran, dihilangkan. Dihapusnya pasal tersebut juga menghilangkan ketentuan batasan waktu perizinan penyiaran yaitu 10 tahun untuk televisi dan 5 tahun untuk radio dan juga larangan izin penyiaran dipindahtangankan ke pihak lain.
“Ketentuan penting lain yang diubah Omnibus Law adalah diberikannya wewenang migrasi digital sepenuhnya kepada pemerintah. Padahal migrasi digital bukan hanya semata alih teknologi tetapi juga perubahan tata kelola penyiaran yang selayaknya diatur negara pada tingkat UU, bukan di Peraturan Pemerintah,” bebernya.
Penulis : (onf)