Kendari. Bentaratimur – Minggu (15/11/2020) jam menunjukkan pukul 04.30 Wita. Cici Rahmawati seorang ibu rumah tangga berumur 51 tahun sudah menyiapkan handuk dan beberapa pakaian ganti, untuk terapi berendam air laut di sekitar kawasan pesisir laut Bungkutoko, Kecamatan Nambo, Kendari.
Hal ini rutin dilakukan sejak ia menderita stroke pada Juni 2018 silam. Serangan pertama ia alami tidak membuatnya sakit atau lumpuh. Namun saat itu darah segar sudah mulai keluar dari hidungnya. Merasa khawatir dengan kondisi yang dialami, pihak keluarganya baru melarikannya ke RS Santa Anna esok paginya.
Berdasarkan hasil pemeriksaan medis, wanita beranak 3 ini mengalami stroke dipicu oleh riwayat tekanan darah tinggi atau hipertensi.
“Waktu itu tekanan darahnya sampai 220/110 mmHg, padahal kata dokter, normalnya 120/80 mmHg,” ucap Zulmain, suami Cici.
Dari dua kali serangan stroke yang dialami Cici, serangan terparah dialaminya untuk kedua kalinya di tahun 2020 ini. Sebagian tubuh sebelah kirinya susah digerakkan seperti semula.
“Sudah bisa jalan, tetapi pelan sekali dan harus ada orang yang jaga disampingnya,” kata Zulmain.
Beberapa kerabat menyarankan agar Cici menjalankan terapi berendam di air laut saat subuh hingga jelang pagi hari. Sejak itulah Cici secara rutin melakukan terapi berendam air laut selama 2-3 kali dalam sepekan.
Biasanya waktu berendam dihabiskan selama 1-2 jam dalam air laut. Selain dirinya, terlihat juga belasan sampai puluhan para lanjut usia (lansia) yang melakukan terapi yang sama.
Baik Cici maupun Zulmain sebenarnya tidak mengetahui persis apakah dengan cara ini, tubuhnya dapat kembali normal dari penyakit stroke yang dialami. Namun menurut mereka tidak ada salahnya mencoba.
“Kondisinya memang agak membaik, tapi sulit dikatakan karena terapi berendam air laut selama ini, karena ia (Cici) juga konsumsi herbal, obat dokter, sampai berobat ke orang pintar.” Kata Zulmain.
Hingga kini penyakit stroke masih menjadi masalah kesehatan dasar. Dilansir dari laman p2ptm.Kemkes.go.id, menunjukkan 1 dari 4 orang mengalami stroke ditahun 2019. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan prevalensi Penyakit Tidak Menular seperti stroke mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan Riskesdas 2013. Khusus penyakit stroke prevalensinya naik dari 7% menjadi 10,9%. Bahkan menurut Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tahun 2016 stroke menghabiskan biaya pelayanan kesehatan sebesar Rp1,43 triliun, tahun 2017 naik menjadi Rp2,18 triliun dan tahun 2018 mencapai Rp2,56 triliun rupiah.
Permandian Kali Biru, Lokasi Terapi Para Lansia
Lokasi permandian Kali Biru, terbentuk secara ‘tidak sengaja’ dari pembangunan Kendari New Port yang dicanangkan PT Pelindo IV (Persero) pada April 2017.
Untuk pembangunan pelabuhan bertaraf internasional, PT Pelindo IV (Persero) melakukan reklamasi dan pembangunan lapangan dan penumpukan atau terminal barang. Diantara zona reklamasi dan kawasan hutan bakau, terbentuklah spot permandian air payau (kali biru) yang dimanfaatkan para lansia untuk melakukan terapi air laut dari berbagai penyakit.
Seiring dengan informasinya yang tersebar melalui media sosial (medsos), lokasi ini berubah menjadi obyek wisata permandian bagi warga dalam kota Kendari. Bahkan penamaan ‘Kali Biru’ itu sendiri berasal dari komentar para netizen.
Tingginya animo warga yang berkunjung rupanya membawa berkah bagi pelaku UMKM warga sekitar.
Iwan, 32 tahun, salah satunya adalah bagian dari pelaku keparwisataan yang peduli akan kebersihan dan keamanan area Kali Biru di Kelurahan Bungkutoko, Kecamatan Nambo, Kendari.
Bersama beberapa orang lainnya, mereka termasuk dalam Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kali Biru bentukan Dinas Pariwisata Kota Kendari, yang bertanggungjawab menciptakan suasana kondusif di sekitar area.
“Hampir tiap hari minimal Rp50 ribu pendapatan dari jual gorengan disini. Apalagi sejak pantai Mayaria di Kesilampe tutup sama jembatan Bahteramas Teluk Kendari dibuka, semakin hari, semakin ramai pengunjung. Orang dari arah kota (lama) biasanya malas ke pantai lain karena terlalu boros biaya. Baru masuk di pantai Toronipa sudah bayar Rp20 ribu – Rp50 ribu. Belum mandi, dipaksa sewa gazebio, tikar dan lain-lain, sudah habis uang Rp100 ribu – Rp150 ribu. Kalau disini (kali biru) tidak ada begituan,” jelasnya.
Risiko Penularan Covid-19
Sebuah penelitian yang digelar baru-baru ini menunjukkan bahwa mandi di laut bisa meningkatkan risiko terpapar penyakit. Meskipun, di satu sisi, mandi di laut bisa meningkatkan kebugaran, kesejahteraan, dan mempererat hubungan manusia dengan alam.
Dikutip dari artikel di Republika.co.id pada 19 Maret 2018, penelitian oleh University of Exeter Medical School bersama Pusat Ekologi dan Hidrologi AS itu menemukan bahwa mandi air laut bisa meningkatkan risiko terkena penyakit hingga dua kali lipat, seperti penyakit telinga secara umum dan penyakit telinga secara khusus hingga 77 persen. Adapun risiko penyakit gastrointestinal dapat meningkat 29 persen.
“Di negara-negara kaya seperti Inggris, ada persepsi bahwa, jika ingin jarang sakit, habiskan banyak waktu di laut. Namun, makalah kami menunjukkan sebaliknya, bahwa menghabiskan banyak waktu di laut meningkatkan kemungkinan berkembangnya banyak penyakit, seperti penyakit telinga dan penyakit yang melibatkan sistem pencernaan, yakni sakit perut dan diare. Kami menduga, hal ini mengindikasikan bahwa polutan mencemari laut beberapa negara terkaya di dunia,” ujar peneliti University of Exeter Medical School, Anne Leonard.
Selama pandemi Covid-19 kegiatan luar ruang yang melibatkan kerumunan orang memang sebaiknya dihindari. Meski begitu, berenang di laut atau kolam renang luar ruang tetap memiliki risiko penularan virus corona.
Para ahli mengingatkan, yang perlu diwaspadai adalah berenang di kolam tertutup yang ramai, memiliki sirkulasi udara yang buruk, dan kontaminasi dari permukaan yang banyak disentuh orang, hingga saat interaksi dengan orang lain.
Ahli Kesehatan Masyarakat dari Universitas Haluoleo Ramadhan Tosepu mengatakan, risiko penularan justru bukan dari air, tetapi kontaminasi dari udara dan permukaan di sekitar area permandian atau kolam renang.
Hingga kini belum ada penelitian ilmiah yang menyatakan bahwa virus Covid-19 dapat menular melalui air laut atau kolam. Namun, menurutnya penularan tetap dapat terjadi melalui droplet (percikan pernafasan) saat berbicara atau berinteraksi dengan orang lain.
“Dalam air laut, mungkin tak ada penularan, tetapi siapa yang jamin mereka sebelum turun berendam atau setelah berendam dari air laut? Mereka bersentuhan dengan siapa? kontak fisik dengan siapa ditempat parkir tadi? Apalagi tanpa masker, tanpa jaga jarak,” ungkap Ramadhan Tosepu saat diwawancarai melalui sambungan telepn di pertengahan November 2020.
Lebih lanjut, Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Haluoleo ini, terus mengingatkan semua pihak untuk tetap mematuhi protokol kesehatan Covid-19. Terlebih lagi perkembangan skema testing, tracing, treatment (3T) yang dilakukan Pemda/Pemkot dinilai sangat rendah dari harapan publik. Semakin masif testing akan makin terkuak jumlah kasus positif. Kendati demikian, dia menganjurkan tes usap dengan metode polymerase chain reaction (PCR) atau Swab yang dipakai untuk mendiagnosis kasus positif. Metode tes ini lebih efektif dan akurat ketimbang jenis tes lain seperti tes cepat (rapid test ) antibodi yang banyak dilakukan selama ini.
“Rapid test antibodi tidak efektif di pekan pertama karena sensitivitas hanya 10-20 persen. Di pekan kedua pun sensitivitas baru 40 persen, sehingga tidak banyak kasus terjaring,” kata alumni Faculty Of Tropical Medicine, dari Mahidol University Thailand ini.
Berdasarkan data sebaran _rapid test_ Dinas Kesehatan Sultra, Sabtu per 14 November 2020, diketahui total rapid test yang dikirim sebanyak 134.775 buah. Dari jumlah itu, rapid test yang sudah digunakan 123.125 buah yang terdiri dari 3.217 reaktif, 118.860 non reaktif, serta 1.048 invalid. Masih tersisa jumlah rapid test yang belum terpakai sebanyak 11.650.
Ramadhan mengingatkan, adanya data fluktuatif jumlah kasus positif, menandakan adanya kasus penyebaran Covid-19 yang masih terselubung. Berkaca dari beberapa wilayah atau negara yang dapat menekan jumlah kasus penyebaran Covid-19, ia berasumsi bahwa disiplin dalam protokol kesehatan adalah upaya pencegahan yang layak untuk saat ini.
“Perlu diingat beberapa wilayah atau negara sudah berhasil menekan jumlah penyebaran Covid-19, meskipun vaksin belum ditemukan secara sempurna. Ini artinya untuk sementara waktu, hidup disiplin sesuai protokol kesehatan adalah cara ampuh untuk menekan penyebaran corona,” katanya.
Penulis : (aqs)