Kendari. Bentara Timur. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) semakin kukuh menjadi dalih untuk membungkam kebebasan pers. Ada dua pasal karet yang menjadi pola kriminalisasi pada jurnalis yakni pencemaran nama baik dan ujaran kebencian.
Di Sulawesi Tenggara (Sultra) sudah 2 jurnalis yang menjadi korban kriminalisasi menggunakan UU ITE. Ada Muhammad Sadli Saleh tahun 2020 kemudian Muhamad Irvan pada 2022 yang diseret ke penjara pasca tudingan mencemarkan nama baik narasumber dalam pemberitaan mereka. Sadli dijatuhi hukuman dua tahun penjara. Sedangkan Muhamad Irvan divonis 7 bulan penjara.
Padahal Dewan Pers sudah memberikan penilaianya, jika tulisan yang dihasilkan oleh Sadli Saleh dalam bentuk opini juga berita Muhammad Irvan dinyatakan sebagai karya jurnalistik.
Di tahun 2023, dua wartawan tribunnewssultra.com, juga terindikasi dikriminalisasi melalui UU ITE.
Ardin (51), warga Kelurahan Tanganapada di Kota Baubau, menyoal keterangan dua narasumber dalam pemberitaan yang diterbitkan tribunnewsultracom pada 27 dan 28 Februari 2023. Pemberitaan yang dimuat tribunnewsultra.com itu perihal kasus perkosaan anak di Kota Baubau.
Mengantongi dua berita media online tersebut, Ardin lantas melaporkan aduan dugaan pencemaran nama seperti ketentuan UU ITE ke Polres Baubau pada Rabu (1/3). Dalam laporan ini ibu korban dan kuasa hukumnya menjadi terlapor yang turut menyeret dua wartawan tribunnewssultra.com.
Ardin menuduh keterangan para narasumber dalam berita tribunnewssultra.com yang ditulis Risno Mawandi berjudul “Kasus Rudapaksa di Baubau, Anak Yatim Korban Rudapaksa di Baubau Diancam Ditembak Kalau Lapor Polisi”.
Sementara berita ditulis Reymeldi Ramadan Wijaya berjudul “Kasus Rudapaksa Anak Yatim di Baubau, Sosok 7 Terduga Pelaku Rudapaksa Dua Anak Yatim, Ada Pemilik Perumahan dan Menantunya?”
Atas dasar laporan Ardin, Polres Baubau kemudian melayangkan surat panggilan bernomor B/244/III/2023/RESKRIM dan B/245/III/2023/RESKRIM tertanggal (18/3) kepada Risno serta Reymeldi untuk dimintai keterangan dalam tahap penyelidikan.
Pemanggilan polisi memicu reaksi geram sejumlah jurnalis. Mereka menjalin solidaritas menggelar aksi unjuk rasa di Polda Sulawesi Tenggara (Sultra) pada Senin (27/3), mengecam tindakan polisi yang dianggap mengekang kebebasan pers.
Jurnalis yang terhimpun dalam Forum Bersama Jurnalis Sultra, kolaborasi Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sultra dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari itu mendesak Kapolda Sultra memerintahkan Polres Baubau menghentikan proses penyelidikan.
Menurut para jurnalis, jika kerja jurnalis diatur di luar aturan UU Pers maka dapat mengancam kemerdekaan pers. Hal ini juga dikhawatirkan bisa menimbulkan ketakutan bagi orang-orang yang ingin menyampaikan kritikannya melalui pemberitaan jurnalis.
Pada prinsipnya kebebasan pers bukan hanya milik pers atau jurnalis, tetapi milik semua, kata Ketua AJI Kendari, Rosniawanti. Dia bilang pers yang bebas akan berdampak pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang demokratis dan akuntabel.
Ketika pers memiliki kebebasan untuk memberitakan, warga negara dapt memperoleh informasi yang akurat dan beragam tentang isu-isu yang penting bagi masyarakat
Ros, sapaan karib Rosniawanti, mengatakan langkah kepolisian terbilang keliru bila mengurusi masalah sengketa jurnalistik. Pemanggilan terhadap dua wartawan guna dimintai keterangan untuk kepentingan penyelidikan merupakan bentuk kriminalisasi dengan mengaitkan sengketa jurnalistik menyentuh ranah jalur hukum.
Menurut Ros, kelakuan polisi menyalahi ketentuan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjelaskan penyelesaian perkara sengketa jurnalistik sepenuhnya menjadi wewenang Dewan Pers.
Mekanisme penyelesaian sengketa jurnalis tetap harus kembali pada ketentuan UU Pers.
“Polisi minta pelapor atau pengadu untuk melakukan hak jawab dan hak koreksi ke media. Bukan memanggil wartawannya untuk diperiksa,” katanya.
Ketentuan ini dipertegas melalui nota kesepahaman (MoU) antara Dewan Pers dan Polri Tahun 2022 tentang Koordinasi Dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan.
Salah satu poin kesepakatan menyebutkan apabila polisi menerima aduan perihal perselisihan produk jurnalistik, maka dapat mengarahkan pengadu untuk mengadu ke Dewan Pers agar dilakukan upaya penyelesaian masalah pers.
“Langkah yang ditempuh dalam proses penyelesaian sengketa pers antara jurnalis dan masyarakat dilakukan lewat permintaan hak jawab dan hak koreksi oleh pihak yang merasa keberatan atas suatu pemberitaan,” demikian isi kesepakatan Dewan Pers dan Polri yang juga diatur dalam UU Pers.
Ros meragukan polisi tidak mengetahui tata cara penanganan aduan berupa masalah berkaitan pemberitaan jurnalis. Dia meyakini institusi kepolisian sudah membekali anggotanya pengetahuan soal kasus sengketa pers.
“Kasat Reskrim sekarang bukan orang yang baru-baru amat kan di dunia penyidikan. Jadi kecil kemungkinan dia tidak tahu atau tidak pernah mendengar UU Pers,” ujarnya.
Di sisi lain, Ros mempertanyakan dasar hukum polisi menindaklanjuti aduan pencemaran nama dengan melakukan penyelidikan. Pasalnya, dari dua pemberitaan tribunnewssultra.com tidak ada pernyataan ibu korban maupun kuasa hukum yang menyebutkan nama pengadu atau nama perumahan si developer.
Kepala Sub Bidang Penerangan Masyarakat (Kasubbid Penmas) Polda Sultra, Kompol Tiswan, mengatakan Polres Baubau menyurati dua wartawan tribunnewssultra.com bukan untuk panggilan pemeriksaan, melainkan klarifikasi soal pemberitaan.
“Setelah saya konfirmasi ke Kasat Reskrim Polres Baubau ini terjadi mis saja. Ternyata pak Kasat Reskrim menyampaikan sifatnya undangan untuk klarifikasi apa yang dilaporkan oleh pelapor ini,” katanya saat menemui demonstran jurnalis pada Senin (27/3).
Tiswan menyampaikan kalau Kasat Reskrim Polres Baubau sudah mengarahkan pengadu supaya bersurat ke Dewan Pers untuk meminta hak jawabnya.
Penyelesaian Selisih Pemberitaan Jurnalis Bukan Tugas Polisi
Pada dasarnya ketentuan UU Pers telah menjamin profesi jurnalis memiliki hak imunitas yang bebas terhadap seluruh konsekuensi hukum baik pidana maupun perdata atas karya jurnalistiknya.
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Yadi Hendriana, berkata polisi tidak dibenarkan memeriksa jurnalis tanpa didahului permintaan keterangan ahli Dewan Pers. Jurnalis pun berhak untuk menolak pemeriksaan polisi demi melindungi narasumbernya.
Penyelesaian selisih pemberitaan sebelum menjadi perkara hukum, polisi harus lebih dulu mempelajari aduan yang diterima. Bilamana ditemukan sengketa jurnalistik maka polisi harus meminta rekomendasi Dewan Pers sebagai pemilik otoritas untuk menelaah terpenuhi atau tidaknya unsur karya jurnalistik suatu pemberitaan.
Hasilnya disampaikan Dewan Pers dengan menerbitkan surat Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR). Sesuai petunjuk dan teknis penyelesaian sengketa jurnalistik ditempuh melalui dua metode, yakni pemenuhan hak jawab dan hak koreksi. Manakala solusi Dewan Pers tidak diterima pengadu dan hendak menempuh proses hukum lain, maka yang bersangkutan diminta membuat surat pernyataan. Ketentuan ini tertuang dalam MoU Dewan Pers dan Polri.
Keputusan Dewan Pers yang menyatakan konten pemberitaan sudah memenuhi kualifikasi sebuah karya jurnalistik tidak bisa ditindak secara hukum. “Terkecuali bukan produk jurnalistik itu kategori pidana, polisi silahkan melanjutkan proses hukumnya,” kata Yadi dihubungi Jumat (30/3).
Kata Yadi, suatu pemberitaan dapat dikatakan memenuhi kategori karya jurnalistik ketika sesuai kaidah jurnalistik-yang mana informasi disajikan teruji bukan berita bohong atau fitnah, terkonfirmasi, berimbang, dan tidak beropini menghakimi.
Dewan Pers telah berupaya menjaga dan melindungi karya jurnalistik dari ancaman kriminalisasi lewat MoU serta Perjanjian Kerja Sama (PKS) bersama Aparat Penegak Hukum (APH). Selain itu, Dewan Pers juga membentuk satuan tugas anti kekerasan terhadap pers yang terdiri konstituen Dewan Pers dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers.
Yadi menyampaikan polisi harus berkomitmen memastikan dalam menangani aduan perselisihan pers berpegang teguh pada kesepakatan MoU. Selain itu, dia juga tegas mengingatkan jurnalis untuk menaati dan mematuhi kode etik jurnalistik dalam menghasilkan produk pemberitaan.
Dewan Pers bakal memberi sanksi tegas terhadap oknum jurnalis yang memanfaatkan kebebasan pers dengan menyalahi kaidah jurnalistik untuk memenuhi kepentingannya.
Polisi Masih Kurang Paham Mekanisme Penyelesaian Sengketa Jurnalistik
Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin mengklaim ketentuan UU Pers dipererat lewat MoU Dewan Pers dan Polri sudah cukup kuat menjadi pengaman karya jurnalistik jurnalis agar tidak bisa tersentuh sanksi hukum. Kesepakatan MoU melengkapi aturan teknis penyelesaian sengketa jurnalistik yang belum seutuhnya diatur UU Pers.
“Jadi sebetulnya tidak ada lagi celah jurnalis bisa terkena masalah hukum sepanjang pemberitaannya memenuhi unsur karya jurnalistik,” jelasnya saat dihubungi Sabtu (1/4/23).
Namun begitu, sampai kini masih ditemukan jurnalis terbelit kasus hukum yang didominasi laporan UU ITE. Dua pasal langganan meliputi pasal 27 dan 28 mengenai pencemaran nama dan ujaran kebencian kerap dijadikan alat untuk mempidanakan jurnalis. Menurut Ade, UU ITE memang menjadi ancaman nyata kebebasan pers sebab kelenturan pasal-pasalnya yang membahayakan kerja jurnalisme.
Ade menyebut penerapan pasal 27 dan 28 UU ITE sangat berpotensi menarik penyediaan informasi elektronik jurnalis masuk ke ranah hukum. Penyajian informasi jurnalis dapat dikaitkan sebagai penyebaran pencemaran atau kebencian. Saat ini berbagai pihak termasuk LBH Pers mendorong dilakukannya revisi UU ITE terutama pasal-pasal karet yang turut membelenggu kemerdekaan pers.
Menilik data dihimpun Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), tercatat setidaknya 24 jurnalis terjerat UU ITE selama periode 2017-2021.
LBH Pers menemukan masalah masih adanya jurnalis menjadi korban kriminalisasi ditengarai polisi yang belum sepenuhnya melek mengenai kerja jurnalis dilindungi ketentuan Undang-undang. Serta kurangnya pengetahuan polisi soal kesepakatan MoU Dewan Pers dan Polri menambah kedalaman masalah. Alhasil, hal ini mempengaruhi lemahnya praktik penerapan pedoman hukum yang berlaku.
Masalah tersebut diperparah akibat ketidakpatuhan jurnalis terhadap kode etik jurnalistik dalam membuat produk pemberitaan. Kondisi itu menjadi celah terbukanya ruang kriminalisasi didapatkan jurnalis.
Penulis : Muhlas