Ketika Doa dan Cangkul Melawan Korporasi: Solidaritas untuk Sihaporas

Masyarakat Sihaporas bersama dengan SEKBER Melakukan gotong royong menutup lobang yang digali PT. Toba Pulp Lestari. Foto: Maruli Simanjuntak

Di Sihaporas, tanah dan iman bertaut. Di sana, doa tak hanya diucapkan, tapi diayunkan bersama cangkul melawan ketidakadilan yang mencoba mengubur harapan rakyat di bawah lumpur korporasi.

Bentara Timur- Di tengah hening hutan Sihaporas, suara cangkul berpadu dengan lantunan doa. Ratusan orang lintas iman berdiri sejajar dengan Masyarakat Adat LAMTORAS Sihaporas menyatu dalam satu tujuan: memperbaiki jalan menuju ladang yang selama ini menjadi nadi penghidupan warga. Jalan itu sebelumnya dirusak oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL), seolah hendak memutus urat nadi kehidupan masyarakat adat di tanah leluhur mereka.

Sekitar 300 orang datang membawa keyakinan dan solidaritas, bukan sekadar alat kerja. Mereka berasal dari berbagai latar: AMAN Tano Batak, KSPPM, BAKUMSU, lembaga keagamaan seperti STT HKBP Nomensen, HKI, para suster, pastor, frater, hingga komunitas JPIC Fransiskan dan Kapusin. Semuanya hadir dalam gerakan yang digagas oleh Sekretariat Bersama Gerakan Oikumenis untuk Keadilan Ekologis Sumatera Utara, sebuah pertemuan iman dan keberpihakan.

“Kami hadir di sini bukan menggantikan tugas negara, tapi karena negara lamban,” ujar Walden Sitanggang, Ketua Umum Gerakan Oikumenis. “Masyarakat Sihaporas berjuang sendirian mempertahankan tanah dan sumber hidupnya. Maka kami turun tangan.”

Beberapa waktu sebelumnya, Komisi XIII DPR RI bersama Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara memang telah mempertemukan pihak PT TPL dan Masyarakat Adat dalam rapat dengar pendapat. Di sana, pihak perusahaan berjanji akan menutup lubang besar yang mereka gali untuk memutus akses warga ke ladang. Namun janji tinggal janji. Hingga kini, tak satu pun lubang ditutup. Warga harus menimbunnya sendiri dengan cangkul, lumpur, dan tekad.

Masyarakat Sihaporas bersama dengan SEKBER Melakukan gotong royong menutup lobang yang digali PT. TPL. Foto: Maruli Simanjuntak

“Direktur PT TPL sudah berjanji di depan DPR RI, tapi janji itu hampa. Kami yang turun memperbaikinya. Ini bukti nyata kelambanan pemerintah dan lemahnya tanggung jawab perusahaan,” tegas Walden.

Gotong royong lintas iman itu bukan hanya kerja fisik, melainkan pernyataan moral. Di antara pohon eukaliptus yang menjulang dan tanah merah yang terbelah, para perempuan adat menunduk, menabur doa bersama tanah yang mereka cintai. Salah satunya, Mersi Silalahi, dengan mata berkaca-kaca berkata, “Kami hanya ingin bertahan hidup dan menyekolahkan anak-anak kami. Tapi semuanya dipersulit. Tanaman pangan kami diganti eukaliptus, jalan kami digali.”

Namun keajaiban pagi itu hanya bertahan sebentar. Malamnya, sekitar pukul 22.00, suara berat alat mekanis memecah keheningan hutan. Jalan yang baru saja diperbaiki kembali dihancurkan. Pagi berikutnya, warga menemukan tiga titik jalan yang telah digali lagi. Petugas keamanan PT TPL berjaga tak jauh dari lokasi.

Masyarakat Sihaporas melihat pada pagi hari akses jalan yang telah mereka perbaiki sebelumnya kembali digali PT. Toba Pulp Lestari. Foto: Maruli Simanjuntak

“Kami baru saja menimbun jalan itu kemarin, tapi malamnya langsung dihancurkan lagi. PT TPL sudah tidak menghormati siapa pun—bahkan negara,” kata Putri Ambarita, Pemuda Adat Sihaporas.

Peristiwa itu memunculkan pertanyaan yang menggantung di udara Sihaporas: sampai kapan masyarakat adat harus melawan sendiri? Tanah bagi mereka bukan sekadar tempat berpijak, melainkan ruang spiritual, sumber pangan, dan simbol martabat. Namun di hadapan kekuasaan ekonomi, nilai-nilai itu terus terinjak.

Gerakan Oikumenis menyerukan agar negara segera hadir, bukan sekadar menyaksikan. “Ketika negara diam, solidaritas rakyat harus berbicara. Ketika pemerintah lamban, iman harus bekerja. Karena keadilan ekologis dan kemanusiaan tidak boleh ditunda,” pungkas Walden.

Penulis: Maruli Simanjuntak, Jurnalis warga Masyarakat Adat Tano Batak