Ainun Djariah, 77 tahun, tampak berjalan kaki menuju salah satu bank pemerintah yang berjarak seratus meter lebih dari rumahnya. Ia mengambil tunjangan pensiunan janda yang diterimanya. Langkah kakinya memang tidak sekuat dulu lagi.
Ainun tinggal seorang diri di rumah petak permanen warisan suaminya yang berukuran kecil di Jalan Jenderal Sudirman, Kecamatan Wolio, Kota Baubau. Sementara seorang anaknya, menempati satu petak yang bersebelahan dibatasi tembok. Saban hari ia menggunakan tongkat alumunium, menopang tubuhnya yang sudah renta dalam beraktifitas.
Usia tak menggerogoti ingatannya tentang masa lalu. Ia masih mengingat dengan baik peristiwa puluhan tahun lalu yang mengubah nasib keluarganya selamanya, yaitu penangkapan suaminya, Muhammad Kasim, 1969 lalu. Bupati Buton periode 1965-1969 itu ditangkap tentara karena tuduhan terlibat Partai Komunis Indonesia.
Dewi Sri Putri Yanti, salah satu anak Ainun, selalu mengingat pesan ayahnya yang pernah mengatakan, “Kalian berdiri di atas kebenaran. Jangan kalian malu”. Pesan dalam surat ayahnya itu menjadi pelipur lara dan menjadi motivasi untuk membantu ibunya membesarkan keempat adiknya.
“Saya itu korban fitnah. Bukan orang lain yang fitnah tapi yang sering keluar masuk di rumah saya,” kata Yanti, menirukan ucapan ayahnya, yang tidak jauh beda dengan pesan-pesan dalam surat yang dimaksud. Fitnah yang berakibat pada terampasnya hak-hak mereka selama berpuluh-puluh tahun.
Kasim adalah satu dari puluhan aparat pemerintah dan personel ABRI yang ditangkap karena tuduhan terlibat dalam gerakan yang berafiliasi dengan PKI. Korban-korban peristiwa itu bersaksi diperlakukan tidak manusiawi. Penangkapan itulah yang kemudian membuat Buton (kini menjadi Baubau) pernah dicap sebagai basis PKI.
Peristiwa nahas yang menimpa keluarga Ainun itu bermula pada sekitar pukul 3 dini hari di pertengahan Maret 1969. Saat itu belasan tentara dan polisi tanpa menunjukan surat perintah, datang secara paksa menggeledah rumah jabatan Bupati Buton yang ditinggali Kasim sekeluarga.
Tidak ada kejelasan mengenai apa yang dicari oleh para aparat ketika itu. Usai menggeledah seisi rumah dan paviliun, Kasim ditangkap dan digiring secara paksa. Ia dibawa ke Kota Kendari. Setelah itu dia ditahan di kantor Corps Polisi Militer (CPM) yang dijaga ketat. Beberapa benda berharga milik Ainun turut diambil dalam penggeledehan itu.
Dewi Sri Putri Yanti, anak sulungnya, yang ketika itu berumur tujuh tahun kerap mengirim makanan untuk ayahnya. Ia mengingat salah satu peristiwa pada April 1969 saat ia membawa kiriman makanan untuk ayahnya.
Di bawah terik matahari yang naik sepenggalah, ia berjalan tergopoh-gopoh ke markas CPM di Kendari. Ia membawa termos berisi air panas, ceret berisi air dingin, dan rantang susun berisi bubur nasi plus lauk pauk.
Sesampainya di kantor CPM, ia diperiksa secara rutin sebelum diizinkan menjenguk ayahnya yang berstatus tahanan politik itu. Sesampainya di ruang pengap berukuran sekitar 2×3 meter yang diterangi sinar cahaya matahari menembus ventilasi kecil, ia mendapati ayahnya, saat itu berumur 40 tahun, tidur pulas.
Beralaskan kasur berukuran satu badan orang dewasa di lantai, di balik jeruji besi tahanan. Yanti saat itu selalu bertanya-tanya dalam hati, kenapa bisa bapakku di dalam situ?
“Pa… bangun. Makan dulu,” seru Yanti sembari mengguncang tubuh ayahnya yang terbaring menghadap tembok. Namun tubuh yang lemas itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Yanti pun beranjak pulang dengan membawa kembali makanannya.
Sesampainya di rumah, ia mendapat amarah ibunya, Ainun Djariah yang ketika itu masih berumur 25 tahun. ‘Kenapa kamu tidak kasih bangun bapakmu. Kasihan’, kata Ainun dengan nada geram. Yanti sontak berlari kembali ke markas CPM.
Ia mendapati ayahnya tengah duduk lemas. Dengan bekas lebam di wajahnya. Yanti dengan sabar menunggu ayahnya menghabiskan separuh bubur dan lauk. Sesekali ia menyuapi sang ayah menggunakan tangan mungilnya.
“Ayah selalu berpesan, ‘Saya itu korban fitnah’” kata Yanti, mengingat pesan ayahnya di dalam sel. Sebelum beranjak pulang, Yanti selalu mendapat pelukan yang ia nanti-nantikan. Sang ayah juga memberi bisikan soal adanya surat terbungkus plastik bungkusan rokok, di dalam bubur yang tersisa.
Malam harinya, Yanti dan Ainun bersusah payah membaca enam lembar kertas karbon hitam kosong yang katanya adalah sebuah surat. Rupanya goresan tangan Kasim baru terlihat jelas berwarna putih ketika kertas-kertas kosong itu dihadapkan pada cahaya lilin. “Kita tidak tahu bagaimana ayah membuatnya”, kenang Yanti.
Kasim tak berusia lama di tahanan. Pada 8 Agustus 1969, Dandim Buton Mayor Sadiran mengumumkan kematian Kasim dalam tahanan Baubau akibat gantung diri di usia 40 tahun.
Ainun, yang saat itu mengandung anak kelima, meragukan keterangan itu. Ia mendengar kesaksian seorang keluarganya yang mengaku sempat melihat tubuh Kasim yang ternyata sudah rusak dan tidak ada tanda-tanda bekas gantung diri. Jenazah Kasim tidak diizinkan untuk diambil dan dibawa pulang oleh keluarga.
Si Perempuan Besi
Di mata anak-anaknya, Ainun mendapat julukan ‘perempuan baja, perempuan besi’. Selama 20 tahun lebih Ainun menggunakan segala daya untuk menutup-nutupi kematian Kasim kepada anak-anaknya. Ia tidak ingin anaknya merasa terkucil akibat stigma sebagai “anak PKI”.
Erni Kasim, 57 tahun, salah seorang putri Kasim pernah mendapat stigma negatif dari teman sekolah mereka dulu. “Orang-orang suka mengatakan kalau ‘Bapak kita PKI, bunuh diri’. Saya dengar dari teman-teman,” ujarnya.
“Eh jangan dengar-dengar itu! Kamu suka kah kalau bapak mu bunuh diri?”, kata dia menirukan ucapan ibunya, yang berusaha menguatkan mental Erni..
Ainun merahasiakan kematian suaminya dan berjanji akan menyampaikan kenyataan yang sebenarnya setelah lima anaknya dewasa. Ia pun bersiasat dengan berbagai cara untuk meyakinkan anak-anaknya, termasuk saat menanyakan kenapa ayahnya tak pernah pulang.
Setiap bulannya, di waktu-waktu tertentu, Ainun tergopoh-gopoh menyegerakan langkah kakinya mendatangi toko langganannya di bawah terpaan terik matahari. Ia membelanjakan uangnya untuk membeli jajanan coklat kesukaan anak-anak.
Coklat dibungkus rapi lalu di bawa ke kantor pos untuk minta diberi cap, menandakan paket kiriman pos dari ayah. “Kita kan masih anak-anak, (percaya) ini kiriman dari bapak,” kata Erni.
Tak ada yang lebih membahagiakan Ainun daripada melihat keceriaan anak-anaknya, yang saling berlomba menyambut bingkisan itu.
Di setiap lebaran mereka selalu bertanya kemana bapaknya. “Saya lantas menjawab “jangan bertanya-tanya, bapak ke luar negeri!” kata Ainun, mengingat penjelasan yang disampaikan kepada anaknya. “Bapak sulit pulang, karena ongkos kapal mahal” juga sering dilontarkannya sebagai alasan.
Pernah suatu ketika Ainun membawa semua anaknya menuju Jakarta dengan kapal laut. Janjinya adalah untuk bertemu dengan ayahnya. Sesampainya di Jakarta, mereka diberitahu bahwa sang ayah sudah berangkat ke luar negeri. “Terlalu lama dia menunggu,” kata Ainun menirukan perkataan bibinya yang baru saja menjemput kedatangan mereka di pelabuhan, di Jakarta.
Rupanya, itu hanya rekayasa belaka. Jauh hari sebelumnya Ainun sudah mengirim surat kepada adiknya di Jakarta soal rencana dan siasatnya itu.
Dalih “Bapak pergi bekerja hingga ke luar negeri” adalah satu-satunya cara ampuh membuat anaknya bersabar dan bisa mengerti. Dokumentasi foto-foto perjalanan Kasim ke beberapa negara saat menempuh studi di masa muda, dijadikan bukti untuk menguatkan dalih palsu Ainun.
Di periode masa studinya, Kasim sempat menempuh pendidikan pada salah satu perguruan tinggi di Amerika selama beberapa bulan. Hal inilah yang kerap membuat anak-anaknya di kemudian hari bertanya-tanya, mengapa ayahnya dituduh terlibat rangkaian peristiwa tahun 1965 ketika ayah mereka sedang berada di Amerika.
Ainun di usianya yang renta kerap merasa pikirannya tetap berjalan dalam keadaan tertidur di malam hari. “Bayangannya (Kasim) selalu datang. Saya terbangun kaget. Dia selalu bangunkan saya, ‘eh bangun’ katanya. Saya bangun shalat tahajud, lalu membaca Yasin sampai 3 kali”, ungkap Ainun dengan gurat wajah yang sedih.
“Saya selalu baca-baca ulang supaya tetap ingat,” kata Ainun sambil menunjukan salinan dokumen, berkas dan pemberitaan terkait kematian suaminya yang dirangkum dalam satu bundel.
Dari bundel itu, terdapat satu artikel yang memberi angin segar, harapan dan masa depan. Ada kliping koran lokal pertengahan Mei 2000 yang memberitakan statemen Pangdam VII Wirabuana Mayjen TNI S. Kirbiantoro yang mencabut stigma Buton sebagai Basis PKI.
Ainun tetap berharap kepada pemerintah mengumumkan pembersihan nama baik suaminya ke khalayak. “Masyarakat itu tidak tahu,” pungkasnya.
Buton ‘basis PKI’
Pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Kepulauan Buton periode tahun 1965-1969 tercatat rapi dalam hasil laporan investigasi berjudul “Buku catatan Jurnalis Operasi Militer 1969, Buton ‘Basis PKI’ “, oleh lembaga Pers Mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO), Juni 2000.
Saleh Hanan, yang memimpin investigasi, mengatakan, penyelidikan yang dilakukan pada 1998 itu bertujuan untuk mengangkat peristiwa yang tidak pernah dikabarkan, yang banyak menjadi bisik-bisik tentang adanya “luka sejarah” di daerah itu yang berdampak pada ribuan orang.
Menurut laporan itu, kasus di Buton diawali oleh adanya tuduhan terjadinya dropping senjata oleh PKI melalui KRI Dompu yang singgah di Teluk Sampolawa, Buton, dalam pelayaran dari Tanjung Priok menuju Maluku pada tahun 1965. Itu tahun yang sama dengan peristiwa Gerakan 30 September (G30S) di Jakarta, saat sejumlah personel tentara berusaha merebut kekuasaan.
Dalam laporan yang berkembang di tengah masyarakat, PKI diduga mendrop senjata untuk kemudian dibagi-bagikan kepada tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah, termasuk Muhamad Kasim. Laporan itu sempat diperiksa kebenarannya. Tapi tidak ada bukti yang membenarkan laporan tersebut.
Empat tahun kemudian, tanggal 21 Maret 1969, isu dropping senjata kembali mencuat ke permukaan. Kasim yang menjabat Bupati dan sekitar 40 aparat pemerintah Buton dan anggota ABRI mulai ditangkap pasukan Kodim 1413 Buton dan Korem 143 Kendari, tanpa surat perintah. Kasim dituduh sebagai Komandan Perlawanan Rakyat Sulawesi Tenggara yang berafiliasi pada PKI.
Korban-korban peristiwa itu bersaksi diperlakukan tidak manusiawi. Ada yang ditelanjangi, dipukul, disetrum dan siksaan lainnya. Mereka dipaksa mengaku bahwa tuduhan terhadap mereka adalah benar. Saat ada tim dari Kodam XIV Makassar mengecek ifnormasi itu pada akhir Desember 1969, hasil pemeriksaan memastikan tuduhan itu tidak benar.
“Kami menulis dari perspektif bukan dari PKI-nya. Kami tidak menulis kebencian kepada PKI, kami juga tidak menulis pro-kontra tentang PKI. Kami hanya menulis dari sisi mereka (korban)” ungkap Saleh. “Buku ini mengabarkan tentang orang-orang yang tertuduh tapi bukan pada posisi itu.”
Yang terjadi pada masyarakat Buton saat itu saling tuduh. Sepenuhnya tidak menguntungkan kedua belah pihak. Ada perspektif kemanusiaan di balik peristiwa politik. Ada oknum-oknum yang memanfaatkan situasi untuk mendapat keuntungan. Bahkan ada yang diceritakan tidak pernah pensiun, tidak pernah mati, Contohnya ada yang sudah meninggal tapi tetap jalan gajinya.
Menurut Saleh Hanan, ia juga sempat ke Komnas HAM membawa buku itu dan mengawal korban untuk melapor. Tetapi para korban tidak ada lagi yang berpikir untuk menuntut kebun dan harta mereka disita secara paksa, atau soal kehilangan kepala keluarganya dalam peristiwa itu.
Upaya Rekonsiliasi
Beberapa bulan setelah terbitnya buku itu, Lembaga Eksekutif Kemahasiswaan Universitas Halu Oleo berupaya melakukan rekonsiliasi antar keluarga yang dulu saling tuding dan saling curiga sebagai anggota PKI. Acara yang berlangsung di Kawasan Keraton Buton penuh isak tangis. “Sejarah telah membuat kita kehilangan satu ruangan-hidup dengan saling curiga dan saling benci, dan rasa duka itu kemudian menjadi kerinduan,” kata Hanan.
“Tidak ada umpatan di antara mereka. Tidak satu pun saya mendengar gregetan mereka untuk membalas. Tidak satupun untuk bertanya, ‘mana duitku, mana hartaku’”. Seruan dari para korban saat itu adalah, “Mari kita ketemu. Anda cukup menerima kami dan kami terima Anda. Selesai’.
Sebelum buku itu terbit, kata Hanan, ia mengkonfirmasi ke Kodim di Kendari. Pihak Kodim mengaku, ‘tidak ada satupun produk hukum yang menyatakan Buton sebagai basis PKI’. Bagi mereka ada oknum-oknum yang bermain-main dalam sejarah. Kata Hanan, itu menguatkan kecurigaan “ada sesuatu yang tidak normal” dalam peristiwa itu.
Pada tahun 2012, Ikatan Keluarga Korban 1969 (IKK 69) Buton pernah membuat kegiatan merekonsiliasi para penyintas-korban yang secara langsung maupun secara tidak langsung dari tuduhan dan stigma “PKI” pada peristiwa di tahun 1965-1969. Terdapat juga para aktivis HAM, Pengacara yang berpartisipasi dalam IKK.
Andi Yunus Nontji (52) adalah salah satu pionir IKK. Ia merupakan seorang anak dari salah satu korban yang tertuduh PKI di tahun 69. “Bapak saya guru. Bahkan sempat menjadi pelaksana tugas Sekretaris DPRD di era Pak Kasim,” ungkapnya.
Isu PKI lebih memperlancar beralihnya kekuasaan di daerah-daerah. “Itu isu paling-paling empuk untuk menjatuhkan kekuasaan kepemimpinan sipil di daerah ketika itu,” kata Yunus. Saat itu banyak terjadi pengambilan lahan secara paksa, dibeli dengan harga murah. Kalau tidak mau menyerahkan, mereka akan dengan mudah dituduh sebagai PKI.
IKK mendata sebanyak 37 orang yang dituduh terlibat sebagai anggota PKI telah di rehabilitasi nama baiknya oleh pemerintah. Tetapi mereka tidak bisa mengakses posisi strategis di dalam struktur pemerintahan. “Pasca peristiwa itu…habis! Bahkan ada yang lari keluar daerah, ada yang merantau, entah dia pikir hartanya atau apa, hanya untuk menyelamatkan (keluarganya) dari stigma itu” kata Yunus.
Bahkan kalau ada indikasi orang tuanya dituduh pernah terlibat PKI, kata Yunus, “jangan pernah bermimpi’ bisa menjadi anggota TNI atau mengakses ke pemerintahan.” Mereka yang masih muda, menjadi putus asa. Dan saat kebijakan politik berubah, mereka tak bisa merasakan dampaknya karena sudah di usia yang tidak produktif lagi.
IKK pernah mencoba menerbitkan surat rekomendasi yang diantar langsung ke Presiden Megawati dan meminta negara untuk melakukan semacam kompensasi kepada generasi-generasi yang orang tuanya secara sepihak dituduh terlibat peristiwa di tahun-tahun kelam itu. Belum ada jawaban atas surat itu.
Para keluarga korban masih ada yang trauma oleh peristiwa itu dan mempengaruhinya dalam mengekspresikan pendapatnya. “Artinya ciptakanlah itu keadilan. Bagaimanapun itu akan menjadi semacam dendam, kegundahan dari generasi itu,” kata Yunus.
Para penyintas berharap ada pernyataan negara yang menyatakan secara resmi bahwa peristiwa di Buton pada tahun 1969 itu sebagai peristiwa kasuistik dan bukan merupakan kebijakan negara. “Ini adalah sebuah luka lama yang tidak akan pernah sembuh-sembuh kalau tidak disembuhkan,” pungkasnya.
Permintaan Maaf Negara
Hingga kini penyelesaian terhadap kasus-kasus korban tertuduh PKI belum tuntas. Mereka dibebaskan tanpa ada penjelasan mengapa mereka ditahan sekian lama. Juga belum ada penggantian atas hak-hak milik mereka yang dirampas. Sejumlah diinisiasi oleh sejumlah organisasi swadaya masyarakat untuk menyelesaikan masalah, dianggap belum cukup.
Dari segi yuridis yang selama puluhan tahun diperjuangkan adalah adanya pengungkapan kebenaran atas peristiwa yang banyak menimbulkan korban tidak bersalah,” kata Nani Nurrachman, psikolog Universitas Atmajaya Jakarta yang juga penulis buku “Kenangan tak terucap. Saya, Ayah, dan tragedi 1965”.
Tidak ada metode pemulihan yang seragam bagi setiap dan semua korban. Kata Nani, “Pengalaman trauma sifatnya individual subjektif. Sehingga metode pemulihannya-pun bersifat individual”. Adapun mengalami trauma yang sama, tidak berarti reaksi dan cara mengatasinya akan sama. “Hal ini hanya dapat dirasakan oleh korban jika ada pengakuan resmi telah terjadi pelanggaran berat HAM oleh negara terhadap diri mereka disertai permintaan maaf,” tegasnya.
Dengan berlalunya waktu, sikap diam dan banyaknya pelaku dan korban yang telah meninggal menimbulkan pertanyaan soal bagaimana penyelesaian akhir dari periode sejarah gelap bangsa ini. “Yang saya lakukan adalah bertemu secara langsung dan berinteraksi dengan mereka sebagai upaya menunjukkan empati, solidaritas, serta memberikan dukungan sosial,” tambah Nani.
Oleh: Riza Salman