Loriana dan Hutan Halmahera: Kisah Orang Tugutil di Tengah Kepungan Tambang

Suku Togutil bersama AMAN Maluku Utara (Dok. AMAN Malut)

Di penghujung 2023, jagat maya diramaikan oleh sebuah video pendek. Dua sosok manusia tampak berdiri di depan buldoser yang hendak meratakan hutan. Dengan tangan kosong, mereka menolak alat berat yang mengancam wilayah tempat mereka hidup. Judul videonya menggoda rasa ingin tahu publik: “Viral, Suku Pedalaman di Halmahera Halau Buldoser untuk Lindungi Hutan.”

Dalam hitungan hari, video itu ditonton lebih dari tiga juta kali. Di kolom komentar, warganet terbagi dua. Sebagian mengagumi keberanian mereka, sebagian lain menertawakan dan melabeli mereka sebagai “orang primitif.”
Nama mereka disebut sebagai O’Hongana Manyawa — Orang Tugutil, masyarakat adat yang mendiami pedalaman Halmahera Timur.

Namun di balik sensasi media sosial itu, ada kisah lain yang jarang muncul di layar: tentang manusia yang bertahan di antara hutan yang kian menyempit, tentang komunitas yang memegang erat harmoni alam di tengah derasnya ekspansi industri tambang.

Hidup dalam Pelukan Hutan

Tim peneliti dari BRIN dan BPS pernah menelusuri jejak Orang Tugutil selama 15 hari di Halmahera Timur. Mereka menemukan sesuatu yang jauh dari citra liar yang sering disematkan masyarakat.

Orang Tugutil menyebut diri mereka O’Hongana Manyawa — “orang yang tinggal di hutan.” Hutan bagi mereka bukan sekadar tempat tinggal, melainkan ruang spiritual, sumber makanan, dan nadi kehidupan. Mereka hidup dari berburu rusa dan babi hutan, memancing udang di sungai, dan menanam umbi-umbian seperti singkong dan keladi.

Dalam kehidupan mereka, alam bukan sesuatu yang ditaklukkan, melainkan disyukuri. Ketika seorang bayi lahir, mereka menanam pohon kelahiran—biasanya duku atau seleguri. Saat seseorang meninggal, mereka menanam pohon kematian—bambu atau nangka. Setiap pohon adalah penanda perjalanan hidup manusia, jejak yang menyatu dengan bumi.

“Mereka bahkan tidak menebang pohon untuk kayu bakar,” kata M. Nasir Tamalane, peneliti dari Universitas Khairun Ternate. “Yang dipungut hanya ranting atau dahan yang jatuh.”

Perubahan yang Datang dari Luar

Namun hutan yang mereka jaga kini terus tergerus. Di wilayah Halmahera Timur, sektor pertambangan dan penggalian menjadi penyumbang terbesar produk domestik regional bruto—37 persen pada 2021, naik drastis dari lima tahun sebelumnya. Sebagian besar dilakukan di lahan yang dulunya hutan.

Ketika perusahaan tambang datang, daerah jelajah Orang Tugutil menyusut. Beberapa kelompok mulai keluar dari hutan dan mengikuti program pemukiman Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang dijalankan pemerintah. Mereka diberi rumah dan lahan, dibimbing untuk beradaptasi dengan kehidupan modern.

Namun transisi itu tak selalu mudah.
Sebagian dari mereka masih kembali ke hutan untuk berkebun atau berburu. Sebagian lain kesulitan mencari nafkah di dunia baru. Di pinggir jalan Dodaga, beberapa gubuk berdiri; di dalamnya duduk keluarga Tugutil yang menunggu uluran tangan pengguna jalan.

“Mereka bukan pemalas,” kata Kepala Desa Lili. “Hanya kehilangan ruang hidupnya.”

Harapan dari Loriana

Di tengah perubahan dan stigma, muncul kisah inspiratif dari Loriana Tiak, perempuan Tugutil asal Desa Lili, Halmahera Timur. Ia menempuh pendidikan hingga menjadi sarjana Pendidikan Kimia di Universitas Manado—gelar pertama dari komunitasnya.

Kini, Loriana kembali ke kampung halamannya. Ia menjadi sekretaris desa dan mengajar anak-anak di waktu luang. “Saya ingin anak-anak kami tidak takut bermimpi. Kami bisa belajar tanpa harus meninggalkan jati diri,” katanya dengan mantap.

Kisah Loriana menjadi bukti bahwa pendidikan dan penerimaan sosial dapat menjadi jembatan antara dunia tradisi dan modernitas.

Menjaga yang Tersisa

Orang Tugutil sejatinya bukan penghalang pembangunan. Mereka adalah penjaga terakhir hutan tropis di jantung Wallacea—wilayah dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan rentan terhadap eksploitasi.

Namun, selama stigma masih melekat, keberadaan mereka akan terus dipandang sebagai “liyan”, yang berbeda dan asing. Padahal, dari tangan merekalah, keseimbangan ekologi Halmahera bisa tetap terjaga.

Upaya pemerintah untuk melakukan asimilasi dan pendampingan perlu dilakukan dengan pendekatan budaya—dengan menghormati cara hidup dan pandangan dunia mereka. Sebab, keberlanjutan bukan hanya soal pembangunan fisik, tetapi juga menjaga ruang hidup manusia dan nilai-nilai yang menghidupinya.

*Diolah dari berbagai sumber