Nasib Nelayan Perempuan Skala Kecil di Pesisir PAAP Mawasangka: Di Laut Berjaya di Darat Tak Berdaya

Nelayan perempuan menunjukkan hasil tangkapan ikan di sekitar perairan Buton Tengah (Foto: Mohamad Sadli Saleh)

Matahari sore itu kian memerah. Di sebuah gubuk berukuran 6×4 meter, seorang perempuan tengah mengusap-usap rambut anak ketiganya yang berumur empat tahun.

Perempuan itu adalah Wastini (38), seorang penjual ikan keliling di Desa Wakambangura, Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara (Sultra).

Memandang sang buah hati, mengingatkan Wastini pada empat tahun silam. Saat itu, ia sangat sulit mendapatkan uang untuk jajan anak-anaknya, meskipun itu hanya Rp500 saja.

Waktu itu, Wastini masih menjadi buruh pengikat dan pemikul agar (rumput laut). Ia diupah Rp4.000 – Rp5.000 per hari. Wastini bekerja sambil menggendong anak keduanya yang masih berumur 4 bulan. Anaknya diikat menggunakan sarung di pundaknya. Berjalan kurang lebih satu kilometer dari tepian.

Nasib Wastini tak seindah tempat dia dilahirkan. Tempat yang penuh kenangan dan nostalgia. Yogyakarta. Ya. Wastini perempuan asli Yogyakarta.

Lepas remaja, Wastini meninggalkan Yogyakarta dan merantau di Malaysia. Di sana, Wastini bekerja di sebuah pabrik elektronik asal Korea.

Wastini kemudian bertemu seorang pemuda yang memikat hatinya. Pemuda itu bernama Kaharuddin, asal Wakambangura, Buton Tengah yang juga menjadi buruh migran di Negeri Jiran. Keduanya akhirnya menikah. Wastini meninggalkan Malaysia dan mengikuti suaminya ke Wakambangura.

Pada 2010, Wastini yang saat itu sudah dikaruniai dua orang anak mengajak suaminya pulang ke Yogyakarta. Di sana, ia berharap sang suami mau bertani dengan mengolah sebidang sawah milik keluarganya. Namun ternyata Kaharuddin tak betah bertani. Ia kembali merantau ke Malaysia. Setahun kemudian akhirnya Wastini mengikuti Kahar kembali ke Wakambangura.

Kisah Wastini sebagai penjual ikan keliling pun dimulai. Waktu itu, Wastini belum berani menjual ikan sendiri. Selain menjadi orang baru di Wakambangura, bahasa daerah pancana menjadi kendala utama Wastini dalam berkomunikasi.

Wastini masih beradaptasi. Ketika itu, Wastini sering memperhatikan penjual ikan yang datang ke rumahnya. Setiap kali suaminya pulang melaut, ikan hasil tangkapan suaminya dijualkan oleh orang yang datang di rumahnya itu. Wastini tersadar. Daripada dijualkan oleh orang lain, mendingan ia jual sendiri. Wastini akhirnya memanfaatkan sepeda motor hasil dari suaminya merantau di Malaysia untuk berjualan ikan keliling.

Setiap hari selepas subuh, Wastini segera menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya. Tepat pukul 7 pagi ia mulai berkeliling menjual ikan. Berkat konsistensinya itu, Wastini mulai mendapatkan kepercayaan dari nelayan di Wakambangura.

“’Bawa saja di tempatnya mbak itu’,” Wastini menirukan ucapan para nelayan skala kecil teman suaminya yang datang ke rumahnya membawa ikan usai melaut. Berawal dari itu, Wastini mulai banjir pesanan ikan yang masuk.

Saat itu adalah masa kejayaan para nelayan skala kecil di wilayah Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP) Wakambangura, termasuk Wastini. Setiap nelayan yang turun melaut selalu mendapatkan hasil tangkapan ikan yang berlimpah. Jumlah nelayan yang membawa ikan ke rumah Wastini untuk dijualkan pun bertambah mencapai belasan orang.

Wastini mulai merasa lega. Ia tak bersedih lagi. Ia sudah mampu memberikan uang jajan untuk kedua orang anaknya. Sebelum Wastini menjual ikan keliling, mendapatkan uang Rp500 untuk jajan anaknya saja sangat sulit baginya.

“Sampai saya cari-cari di kantong baju, tidak ada. Kadang saya menangis. Tidak mungkin uang Rp500 mau utang di warung,” kenang Wastini.

Perjuangan Wastini belum usai. Meskipun tengah mengandung anak ketiga, ia tak berhenti menjual ikan keliling. Saat hamil besar, Wastini keliling jual ikan ke arah Wasilomata, kurang lebih 10 kilometer dari Wakambangura. Kandungan Wastini terjepit ember dan gabus (boks) yang berisi ikan. “Pening-pening, saya mau pingsan,” kenang Wastini.

Semua itu tak menyurutkannya untuk tetap pergi menjual ikan. Bahkan sehari sebelum melahirkan pun Wastini masih keliling menggunakan sepeda motornya dengan dua beban gabus di belakang, dan dua buah ember di depannya. Tangan kirinya juga terkadang memegang ember.

Anak ketiganya pun lahir dengan selamat. Baru berumur 40 hari anaknya itu sudah ditinggal pergi menjual. Meskipun tak ada susu tambahan hanya berbekal ASI, anak Wastini tumbuh dengan sehat. Anak ketiganya selalu digendong menggunakan sarung dan dibawa keliling menjual.

Menjual Ikan Menggunakan Ourfish

Wastini menampung aneka macam ikan mulai dari baronang, cakalang, malalea, kerapu, bobara, ikan karang, dan hampir semua jenis ikan dijualnya. Tetapi Wastini tidak membelinya. Ia bermodalkan kepercayaan nelayan skala kecil PAAP Wakambangura membawakan ikan hasil tangkapannya ke rumah Wastini dan meminta untuk dijualkan.

Wastini menggunakan skema bagi hasil dengan sistem bagi persenan (fee). Dengan perbandingan 80 persen nelayan, 20 persen Wastini. Angka itu sudah termasuk bensin dan es batu. Meski kondisi keuangannya juga sedang susah, Wastini tidak memberlakukan aturannya itu pada nelayan yang harga ikannya di bawah Rp50 ribu.

“Kalau Rp50 ribu, saya Rp10 ribu. Kalau di bawah Rp50 ribu memang saya tidak ambil fee-nya. Masa Rp20 ribu saya mau ambil, saya tidak tega kasihan kita sama-sama mencari. Mereka juga susah. Biar mi kadang saya tanggung esnya,” tutur Wastini.

Sudah satu tahun terakhir Wastini menggunakan aplikasi Ourfish lewat telepon pintarnya. Aplikasi warisan dari RARE ini memudahkan nelayan skala kecil seperti Wastini memanajemen usahanya. Sebelum dan sesudah menjual, Wastini melakukan pencatatan (recording). Mengecek jenis, berat, jumlah, dan harga ikan.

Bagi Wastini, Ourfish sangat membantu. Sebelum menggunakan Ourfish, Wastini tidak mengetahui persis berapa pendapatan harian dari penjualan ikannya. Selama ini ia menjual ikan tanpa kalkulasi sehingga tidak tervalidasi sesuai kebutuhan ikan yang dijualnya. Kini Wastini sudah pandai menghemat, menabung, dan memperhitungkan meskipun keuntungannya cuma sedikit. “Dulu kita tidak tahu, kita main hantam-hantam (jual) saja,” ujar Wastini.

Di balik itu, Wastini merasakan ada penurunan jumlah dan berat ikan. Tangkapan nelayan skala kecil langganan Wastini di PAAP Wakambangura dalam setahun terakhir ini menurun drastis. Itu diketahui Wastini dari Ourfish. Data ikan yang diinput Wastini selama ia menjual, grafiknya konsisten menurun.

Fenomena penurunan hasil tangkapan nelayan skala kecil itu juga terlihat dari hasil melaut suami Wastini. Sudah tiga bulan terakhir suaminya aktif melaut namun pulang tanpa membawa ikan.

Wastini juga bercerita, suaminya sempat putus asa dan menyerah karena mati-matian semalaman melaut mencari ikan, tapi hasilnya kosong. Wastini tak tahu apa penyebab tangkapan nelayan berkurang.

“Kita beli umpan itu, kadang Rp50 ribu sampai Rp100 ribu. Yah rugi,” tutur Wastini.

Tetapi Wastini tetap beradaptasi karena ia juga menggantungkan nasibnya dari hasil tangkapan nelayan skala kecil di wilayah PAAP Wakambangura. Dua tahun lalu, sebelum menggunakan Ourfish, nelayan yang membawa ikan ke rumah Wastini mencapai 10 kg per orang. Sedangkan tahun ini, 3 kg merupakan berat ikan tertinggi yang Wastini terima, ikan baura. “Kadang 1 kg cuma 5 ekor. Harganya Rp20 ribu, itu pun ditawar,” tutur Wastini.

Kisah serupa juga dirasakan oleh nelayan skala kecil dari komunitas suku Bajo di PAAP Watolo, Kecamatan Mawasangka. Salah satunya Nining. Ibu muda berusia 27 tahun ini saban hari, setiap subuh punya rutinitas menunggu nelayan yang datang di dermaga Watolo.

Terkadang Nining juga harus turun ke laut. Tak peduli ia basah-basahan demi mendapatkan satu gabus ikan dari nelayan. Jika tak begitu, Nining takkan kebagian ikan untuk dijual hari itu.

Tantangan Nining turun ke laut belum selesai. Ibu tiga anak itu masih harus mendorong gabus berisi ikan ke tepi pantai. Dari tepi pantai Nining mendorongnya lagi menggunakan gerobak sampai di dermaga. Jarak keseluruhan Nining mendorong gabus ikan kurang lebih satu kilometer. Itulah rutinitas Nining setiap paginya.

“Dari kecil memang saya sudah mandiri. Saya tidak ada niat memang mau kuliah. Habis lulus SMA menikah, jual ikan mi,” ujar Nining yang sedari kecil sudah ikut ibunya menjual ikan di Pasar Mawasangka.

Nining biasanya membeli satu gabus ikan lajang dari nelayan seharga Rp800 ribu. Ikan seharga itu, menurut Nining masih tergolong mahal. Nining juga tidak bisa memprediksikan ikan yang dibelinya itu akan habis dalam sehari atau tidak.

“Terlalu mahal ikan ini, mau dapat untung apa tidak ini. Ini rencana saya jual per tombu (tempat) Rp20 ribu,” keluh Nining.

Selain di Pasar Mawasangka, Nining juga akan menjualnya ke Desa Terapung, Waburense yang berjarak kurang lebih 20 kilometer dari Mawasangka. “Biasanya saya naik perahu sama suamiku jual ikan di Waburense,” kata Nining.

Nining mengaku masih trauma menggunakan sepeda motor untuk menjual ikan karena belum lama ini ada suami istri meninggal kecelakaan di jalan raya area hutan lindung menuju Waburense.

Cobaan nelayan perempuan skala kecil seperti Nining tak ada habisnya. Ketika berada di laut ia merasa berjaya, tetapi ketika berada di darat ia tak berdaya. Nining mengakui jiwa seorang penjual ikan harus sabar dan tahan banting. Pasalnya, mereka harus siap terima pertanyaan-pertanyaan dari pembeli yang menurutnya sangat menyakitkan hatinya. “’Ikanmu ini, ikan kapan. Masih segar, kah?’” Nining menirukan ucapan pembeli.

Terkadang ada juga pembeli yang membuka insang, memencet ikan hingga isi perutnya keluar, lalu pergi begitu saja. Padahal ikan yang dijual oleh Nining adalah ikan segar yang ditangkap nelayan di waktu sepertiga malam.

Besar keinginan Nining ingin bergabung bersama perempuan nelayan skala kecil di PAAP Mawasangka. Nining juga familiar dengan PAAP. Beberapa waktu lalu, pengurus PAAP mengadakan kegiatan di rumahnya. Mengedukasi mengenai pentingnya menjaga habitat, kelestarian, dan ekosistem laut.

Dari kegiatan itu, Nining baru mengetahui ada zona yang dilarang untuk menangkap ikan sebagai rumah untuk bertelur dan berkembang biak ikan. Nining tertarik karena bermanfaat untuk masa depan laut di wilayah perairan Watolo. Besar harapan Nining untuk bergabung menjadi aktivis perempuan pesisir di PAAP Mawasangka. Ia bertekad akan mengkampanyekan ke tetangga-tetangganya agar tidak menangkap ikan dengan cara mengebom.

“Dulu kalau orang memancing ikan sampai Talaga. Sekarang ada mi dampaknya. Kurang mi lagi orang bom-bom ikan. Karena ada PAAP itu di jaga-jaga mi lautnya,” ujar Nining yang hingga kini masih pikirkan kegiatan PAAP di rumahnya saban bulan.

“Kayaknya saya ini anggota PAAP. Tapi satu bulan terakhir ini belum ada lagi yang pasang baliho untuk di rumah,” celetuknya sembari tersenyum.

 

***

Pagi itu kapal nelayan sudah menepi. Sarni (40) yang berasal dari komunitas suku Bajo Kampung Nelayan Watolo berenang menuju kapal nelayan. Sarni juga memanjat kapal itu demi mendapatkan satu gabus ikan untuk dijual.

“Kalau tidak begitu tidak dapat ikan mi kita,” kata Sarni menceritakan rutinitasnya setelah subuh.

Sudah lebih dari sepuluh tahun ibu dari sembilan orang anak itu menjual ikan di Pasar Mawasangka.

Hari itu, nelayan membanderol satu boks ikan layang yang akan dibeli oleh Sarni dengan harga Rp2 juta. Sarni menerima itu, karena sudah menjadi kebiasaan dia selama sepuluh tahun, ketika memasuki musim timur harga ikan dari kapal nelayan di Mawasangka melambung tinggi. “Kalau musim barat, ikan ini bisa Rp600 ribu. Kalau musim (timur) begini masih mahal,” ujar Sarni.

Untuk menentukan berapa besaran harga layang yang akan dijual, bagi penjual ikan pemula, biasanya ikan itu dihitung terlebih dahulu lalu membaginya dan membutuhkan waktu yang lumayan lama. Karena sudah terbiasa selama puluhan tahun, Sarni bisa langsung menilai jumlah ikan dalam satu gabus (boks) itu.

Insting Sarni, dalam satu boks itu, isinya tidak akan jauh dari 600 ekor ikan layang segar. Dari satu gabus itu, Sarni menyisakan 18 ekor sebagai hitungan minimal dari keuntungan. Sedangkan dalam satu tombu (tempat), Sarni menjualnya seharga Rp20 ribu. Berisi 18 ekor ikan layang segar sudah termasuk tambahan tiga ekor.

“Ada untungnya, biasa Rp70 ribu,” ucap Sarni. Tentu keuntungan itu tak sebanding dengan  perjuangannya mendapatkan ikan. “Kecuali ambil banyak. Umpamanya ada mi ikan cakalangnya, ikan pancing, ikan langgoranya kita. Nah di situ bisa Rp100 ribuan kita punya untung,” tambah Sarni.

Para perempuan di Buton Tengah menjual hasil tangkapan ikan (Foto: Mohamad Sadli Saleh)

Menabung untuk Pendidikan Anak

Rezeki memang takkan ke mana. Sudah lebih dari dua bulan turun melaut, suami Wastini selalu pulang membawa ikan hasil memancing. Lima ekor ikan bubara dengan berat per ekor 3 kg mampu membuat Wastini tersenyum. “Syukur alhamdulillah senang. Selama ini kan, belum dapat. Perkiraan saya mungkin laku Rp150 ribu per ekor,” ujarnya.

Jika laku terjual, lima ekor ikan bubara itu mampu mengurangi beban kebutuhan rumah tangganya karena untuk memenuhi beban itu, tak cukup hanya mengandalkan uang persenannya menjual ikan yang hanya mendapat Rp50 ribu per hari.

“Mau beli beras, mau beli semuanya tidak cukup. Kalau saya menjual ini kan saya hanya membantu sedikit jajannya anak-anak. Kalau kebutuhan pokok, mana cukup, semuanya mahal,” keluh Wastini.

Terlepas dari masalah untung atau rugi, banyak uang ataupun sedikit uang selama menjual ikan, baik Nining, maupun Wastini, mereka satu suara soal masa depan anak. Mereka tidak menginginkan pekerjaan yang mereka geluti setiap hari ini diwariskan kepada anak-anaknya.

“Jangan. Tidak usah anakku lanjutkan ini pekerjaanku. Cukup saya yang rasakan suka dukanya. Siapa tau besok lusa mereka jadi ASN. Saya tinggal terima gajinya anakku,” harap Nining.

Kini Nining mulai menabung sedikit demi sedikit untuk masa depan anak. Nantinya tabungan itu akan dipergunakan untuk anaknya bersekolah sampai ke level tertinggi.

Begitu juga yang ada di benak Wastini. Cita-citanya sederhana, dia hanya ingin hidup berkecukupan dan tidak kekurangan. Tentang persoalan jika suatu saat dia tidak mampu menjual ikan lagi, apapun alasannya Wastini tidak menginginkan anak-anaknya hidup seperti dia.

“Pokoknya hidupnya jangan seperti kami kasihan. Biar mereka lebih berpendidikan dari kami, biar sejahtera juga mereka hidup. Pokoknya jangan sampai kayak kita ini. Bagaimana yah, hidup kita ini kasihan kadang cukup kadang tidak cukup. Itu saja, jangan seperti kita,” pinta Wastini penuh asa.

***

Muslimin, tetangga Wastini yang rumahnya hanya berjarak lima meter dari kediaman Wastini kerap kali membantu Wastini. Muslimin terkadang iba melihat Wastini mengangkat gabus berisi ikan yang akan dimuat di motornya.

Karena Muslimin seorang sarjana, saya lalu menghampirinya, mengurai perspektifnya mengenai nelayan perempuan skala kecil seperti Wastini yang bekerja menjual ikan pagi, siang, sore tanpa mengenal lelah demi memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Muslimin berpendapat, banyak yang tidak disadari oleh masyarakat tentang pentingnya keterlibatan nelayan perempuan seperti Wastini di sektor perikanan skala kecil. Tentang di balik kerja keras mereka yang tak mungkin dipandang oleh masyarakat pada umumnya.

“Mereka ini masih subuh-subuh sudah bangun, pergi menjualkan ikannya orang. Ada juga yang beli. Lalu ditawar ikannya. ‘Mahalnya ikanmu’ Ini kan yang tidak disadari oleh orang banyak,” ujar Muslimin yang menginginkan nelayan perempuan skala kecil seperti Wastini, Nining dan Sarni diberikan dukungan dana supaya mereka bisa berkembang.

Menurut Muslimin, keberadaan mereka di sektor perekonomian masyarakat kecil di pesisir sangat penting sehingga tidak bisa mereka dibiarkan seperti begitu.

***

Keberadaan Wastini di PAAP Wakambangura cukup mempengaruhi keberlanjutan keuangan nelayan tangkap, khususnya nelayan langganannya. Karena antara nelayan dan Wastini ada simbiosis mutualisme yang hingga kini terjalin harmonis.

Selain mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sekitar menjadi sebuah prestasi tersendiri. Wastini kini mampu berkomunikasi menggunakan bahasa daerah setempat, pancana. Yang membuat masyarakat sekitar semakin sayang dan peduli kepadanya.

“Mereka tetanggaku ini baik semua kasihan. Senang mereka sama saya. Mereka ramah,” ucap Wastini.

Buah dari keramahan dan ketulusannya menjual ikan keliling, langganan pembeli ikan Wastini menyebar hingga ke Mawasangka Tengah (Banggai) dan Mawasangka induk. Hingga saban hari, langganan Wastini mendatangi rumahnya untuk membeli ikan.

“Kadang tinggal telepon minta diantarkan. Kadang lewat aplikasi WhatsApp minta difotokan ikannya, kalau cocok baru saya antarkan,” tutur Wastini yang tak serumit dahulu menjual ikan. Wastini juga sudah mampu beradaptasi secara menyeluruh.

Lahir di kampung kenangan, menambah beban rindu Wastini ingin pulang ke Yogyakarta meski terkadang dilematis. Sepintas pikirannya terbesit mengingat kenangan sewaktu berkumpul bersama keluarganya di Yogyakarta. Hanya video call di telepon pintarnya yang mampu menjadi obat penenang rindunya. Berharap keluarganya di Yogyakarta datang di Wakambangura.

“Mau bagaimana. Di sini juga sudah ada keluarga. Mau tidak mau. Karena tidak mungkin mereka mau tinggalkan sawahnya, sapinya, kambingnya. Siapa yang mau jaga. Sementara semua kakak adik saya sudah berkeluarga semua,” terang Wastini dengan suara bergetar.

Wastini tak kuasa menahan air matanya. Ia hanya berharap dapat hidup harmonis dan bahagia bersama suami dan ketiga anaknya di wilayah PAAP Wakambangura. Dalam setiap doanya, suatu saat nanti ia akan membangun rumah sendiri dari hasil kerja kerasnya selama ini menjual ikan keliling.

Untuk Yogyakarta, biarlah selamanya menjadi kota kenangan walau mungkin suatu saat nanti akan kembali pulang ke kota itu. Akhirnya sepenggal lirik lagu Katon Bagaskara mengingatkan Wastini untuk pulang ke kota itu, Yogyakarta.

 

Reporter: Mohamad Sadli Saleh

Liputan ini merupakan hasil fellowship yang disponsori oleh Rare Indonesia