Ketika Menjaga Ruang Hidup Dianggap Kejahatan: Kriminalisasi Masyarakat Adat Maba Sangaji

Masyarakat adat Maba Sangaji. Foto: Ist

Bentara Timur — Suasana ruang sidang Pengadilan Negeri Soasio, Tidore, pada Kamis (18/10/2025) siang itu terasa tegang. Di hadapan majelis hakim yang dipimpin Asma Fandun, sebelas warga masyarakat adat Maba Sangaji menundukkan kepala saat putusan dibacakan. Mereka divonis bersalah karena dianggap menghalang-halangi kegiatan pertambangan nikel oleh PT Position di wilayah adat mereka.

Vonis itu menandai akhir dari perjuangan panjang warga Maba Sangaji, yang sejak Mei lalu berupaya mempertahankan tanah leluhur mereka dari gempuran tambang. Ketua Majelis Hakim menjatuhkan hukuman bervariasi, mulai dari dua bulan hingga lima bulan delapan hari penjara, serta denda Rp 5 ribu.

Di luar gedung pengadilan, sejumlah aktivis dan pendamping hukum menunggu dengan wajah muram. “Vonis ini tidak hanya menghukum warga adat, tapi juga mengirim pesan bahwa mempertahankan ruang hidup bisa dianggap kejahatan,” ujar Hema Situmorang, Juru Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

Menurut Hema, warga Maba Sangaji tidak melakukan tindakan kriminal. Mereka melakukan ritual adat pada 18 Mei 2025 sebagai bentuk perlawanan damai terhadap aktivitas tambang yang telah merusak hutan, mencemari sungai, dan merusak kebun warga. Namun ritual itu justru berujung pada penangkapan 27 orang oleh aparat kepolisian.

“Pasal yang digunakan jaksa—Pasal 162 UU Minerba dan pasal pemerasan dalam KUHP—jelas mengada-ada. Ini bentuk kriminalisasi terhadap rakyat yang menjaga lingkungan,” tambah Hema.

Proses hukum yang mereka jalani pun dinilai penuh kejanggalan. Berdasarkan catatan Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kriminalisasi Masyarakat Adat Maba Sangaji, warga tidak didampingi penasihat hukum saat interogasi. Sidik jari mereka diambil secara paksa, beberapa dipukul, dan dua orang dipaksa menandatangani dokumen tanpa penjelasan. Bahkan mereka diwajibkan menjalani tes urin tanpa dasar hukum yang jelas.

Sehari setelah penangkapan, 16 orang dibebaskan, sementara 11 lainnya ditetapkan sebagai tersangka. Kini, sebelas orang itu resmi menjadi narapidana karena “mengganggu kegiatan usaha pertambangan yang sah.”

Konflik yang Lebih Luas

Kasus Maba Sangaji hanyalah satu dari banyak peristiwa kriminalisasi terhadap masyarakat adat di Indonesia. Amnesty International Indonesia mencatat, sepanjang 2019–2024, terdapat setidaknya 111 kasus serangan terhadap masyarakat adat, mulai dari intimidasi hingga pemidanaan.

“Kriminalisasi ini mengancam ruang hidup masyarakat adat di seluruh Indonesia,” ujar Nurina, perwakilan Amnesty International Indonesia. “Padahal mereka tidak melakukan kekerasan, hanya berusaha menjaga tanah dan budaya yang diwariskan leluhur mereka.”

Bagi masyarakat adat Maba Sangaji, tanah dan hutan bukan sekadar sumber ekonomi, melainkan bagian dari identitas dan kehidupan. Sungai tempat mereka mengambil air, hutan tempat berburu dan mencari obat, adalah ruang yang sakral dan harus dijaga.

Namun kini, dengan adanya vonis tersebut, pesan yang muncul terasa getir: menjaga alam bisa membuat seseorang dipenjara, sementara merusaknya sering kali dianggap bagian dari pembangunan.

“Bagi kami, ini bukan soal tambang atau uang,” kata salah satu keluarga terdakwa melalui sambungan telepon. “Ini tentang kehidupan kami di tanah ini, tanah yang sudah dijaga leluhur kami selama ratusan tahun.”

Kasus Maba Sangaji kembali membuka perdebatan lama tentang benturan antara pembangunan ekonomi berbasis tambang dan hak masyarakat adat atas tanah serta lingkungan. Di tengah derasnya investasi mineral di Maluku Utara, vonis terhadap 11 warga Maba Sangaji menjadi peringatan: hukum sering kali berpihak pada yang berkuasa, bukan pada mereka yang menjaga bumi.

*Diolah dari berbagai sumber