Mahasiswi UHO Diduga Korban Pelecehan Seksual Oknum Dosen Tertekan Jalani Sidang Tanpa Kuasa Hukum

Kendari. Bentara Timur. Sidang kasus dugaan pelecehan seksual  yang dialami mahasiswi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Halu Oleo yang dilakukan prof B, sudah kali ke 10 digelar.

Sayangnya selama proses persidangan itu, korban tidak didampingi kuasa hukum. 

Korban kerap merasa tertekan secara mental  lantaran berada seorang diri tanpa pendamping di ruang sidang. Karena bentuk sidangnya tertutup, tidak ada seorangpun termasuk pihak keluarga diperbolehkan masuk mendampingi ke ruang sidang.

Demikian disampaikan Mashur, paman korban.  Di dalam ruangan sidang, hakim hanya memperbolehkan  korban, saksi, jaksa penuntut umum (JPU), terdakwa, dan kuasa hukum terdakwa.

Sebelumnya, korban didampingi kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kendari. Tetapi, kata paman korban, Mashur, masa berlaku kuasa dari kuasa hukum LBH terbatas. Hanya mendampingi korban selama proses hukum di kepolisian.

“Hari kedua sidang kuasa hukum ditolak majelis hakim karena kuasanya hanya sampai di polisi. Hari pertama mereka tidak datang. Padahal, saya sudah sampaikan jadwal persidangan satu hari sebelum sidang. Mereka tidak sampaikan alasan kenapa tidak hadir,” ungkapnya. 

Mashur khawatir dengan tidak adanya  kuasa hukum, dapat membuat korban ketakutan dan terintimidasi selama persidangan. Terlebih di dalam ruang sidang ia harus bertemu langsung dengan terdakwa prof B. Hal itu dinilai merugikan posisi korban.

Kata Mashur, saat hari pertama sidang digelar, korban menyampaikan keberatan kepada JPU atas keberadaan terdakwa prof B. Karena itu, terdakwa diminta agar  keluar meninggalkan ruang sidang.

“Sidang pertama prof B keluar. Tapi pengacaranya marahi keponakanku (korban),” ceritanya lewat pesan singkat WhatSapp, Sabtu (18/2/2023). 

Di hari kedua proses persidangan, korban kembali mengajukan keberatan karena masih bertemu terdakwa prof B di dalam ruang sidang. Namun, saat itu prof B tidak dikeluarkan dan persidangan tetap dilanjutkan. 

Mashur bilang, hingga kini terdakwa dan korban masih selalu bertemu di tengah pelaksanaan sidang. Keadaan itu pun menjadikan korban merasa ketakutan dan batinnya seperti banyak mengalami tekanan. 

“Makanya setiap dia keluar sidang pasti menangis terus,” ungkapnya.

Pihak keluarga korban sebetulnya sudah meminta kuasa hukum korban sebelumnya untuk memperpanjang kuasa dan mendampingi korban sampai proses hukum di pengadilan selesai.

“Tapi kata LBH ada JPU yang dampingi korban di pengadilan. Katanya jaksa sebagai pengacara Negara,” Mashur menyampaikan tanggapan kuasa hukum dari LBH.

Keluarga Minta Perlindungan ke DP3A

Usaha Mashur dan keluarga untuk mendapat keadilan bagi sang ponakan, terus berlanjut.  Tak mendapat dampingan kuasa hukum, Mashur pun meminta bantuan ke Dinas Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DP3A) Kota Kendari. Melalui kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah

(UPTD) Joisman, DP3A menjanjikan akan membantu  menghubungkan komunikasi dengan pihak LBH. Tapi, Mashur mengaku kalau bantuan yang dijanjikan itu sampai kini belum ada kejelasan.

Kepala dinas (Kadis) P3A Kota Kendari, Sitti Ganif, dikonfirmasi perihal upaya pendampingan terhadap korban, belum menanggapi pesan singkat yang dikirimkan. Sitti  tidak merespons saat beberapa kali dihubungi lewat sambungan telepon.

Tahapan persidangan dilakukan secara tertutup ditambah tidak adanya pendampingan terutama kuasa hukum terhadap korban adalah masalah serius yang dihadapi sekarang ini. Keluarga berharap korban bisa didampingi dalam persidangan agar merasa tenang dan siap berhadapan dengan majelis hakim. 

Humas Pengadilan Negeri (PN) Kendari, Ahmad Yani, mengatakan sesuai ketentuan aturan yang menjadi pedoman bahwa pelaksanaan sidang perkara kekerasan seksual tertutup untuk umum. “Karena berkaitan dengan asusila,” jelasnya.

Ketentuan ini sesuai isi pasal 58 UU TPKS mengenai Pemeriksaan Sidang di Pengadilan, berbunyi pemeriksaan perkara tindak kekerasan seksual dilakukan dalam sidang tertutup. 

Tetapi terdapat ketentuan lain dalam beleid itu terutama dalam pasal 26 ayat (1) berkaitan pendampingan korban dan saksi, menyatakan korban boleh didampingi oleh pendamping pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan.

Pendamping yang dimaksud adalah, petugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), petugas Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dinas Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DP3A), tenaga kesehatan, psikolog, pekerja sosial, tenaga kesejahteraan sosial, psikiater, pendamping hukum, meliputi advokat dan paralegal, petugas lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat, dan pendamping lain.

Pendampingan Harus Pada Perspektif Hak Korban

Akademisi ilmu hukum pidana kampus Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, La Ode Muhammad Sulihin, menerangkan korban mempunyai hak untuk mendapat pendampingan dalam persidangan meskipun teknis persidangannya dilakukan tertutup.

Untuk mendapat pendampingan itu, korban mengajukan permohonan kepada majelis hakim meminta pendamping apabila merasa tidak bisa sendiri dan perlu didampingi dalam ruang sidang. “Atas permintaan korban, majelis hakim boleh mengizinkan korban didampingi dengan pertimbangan hak asasi manusia (HAM), keadaan korban, keamanannya, atau kondisi psikologisnya,” terangnya.

Terkait siapa yang boleh mendampingi korban, kata Sulihin, sudah jelas disebutkan dalam UU TPKS soal pendamping saksi dan korban dengan harus memenuhi kualifikasi sesuai yang disyaratkan.  

Di samping itu, korban boleh tidak menghadiri langsung prosesi persidangan dengan meminta ke majelis hakim untuk mengikuti persidangan melalui virtual atau dalam jaringan (Daring). Hal itu misalnya karena korban ingin menghindari agar tidak bertemu langsung dengan terdakwa. Sebab korban merasa takut dan tertekan bila melihat terdakwa.

Reporter : M. Las