Hukum  

Proyek Swakelola IPPKH Bendungan Pelosika Dilaporkan ke Kejati Sultra

Aliansi Mahasiswa Pemerhati Lingkungan (AMPLK) Sultra resmi mengadukan dugaan korupsi proyek swakelola izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) bendungan Pelosika di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara (Sultra), Selasa (24/10/2023). Foto/ist
Aliansi Mahasiswa Pemerhati Lingkungan (AMPLK) Sultra resmi mengadukan dugaan korupsi proyek swakelola izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) Bendungan Pelosika ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara (Sultra), Selasa (24/10/2023). Foto/ist

Kendari, Bentara Timur – Aliansi Mahasiswa Pemerhati Lingkungan (AMPLK) Sultra resmi mengadukan dugaan korupsi proyek swakelola izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) Bendungan Pelosika ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara (Sultra).

Ketua AMPLK Sultra, Ibrahim mengatakan, ada beberapa kejanggalan dalam pengerjaan proyek swakelola tersebut.

“Proyek swakelola IPPKH Bendungan Pelosika ini sudah pernah dianggarkan tahun 2020, lalu kenapa dianggarkan lagi tahun 2022 dengan rincian pekerjaan yang sama yakni untuk tapal batasnya. Kemudian kenapa mesti memakai rekening pribadi salah satu oknum staf di BPKHTL Wilayah XXII Kendari, kenapa tidak memakai rekening kantor,” kata Ibrahim saat ditemui di Kantor Kejati Sultra, Selasa (24/10/2023).

Dikatakan, mulanya terjadi Memorandum of Understanding (MoU) antara Balai Wilayah Sungai (BWS) IV Kendari selaku penanggungjawab anggaran dengan BPKHTL Wilayah XXII Kendari sebagai pelaksana swakelola. Kegiatan swakelola tersebut berupa kegiatan fasilitasi IPPKH pembangunan Bendungan Pelosika dan sarana penunjangnya.

Berdasarkan keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 341/MENLHK/SETJEN/PLA0/8/2020 tanggal 24 Agustus 2020 tentang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk kegiatan pembangunan Bendungan Pelosika dan sarana penunjangnya atas nama Kementerian PUPR seluas kurang lebih 1.917,05 Ha pada kawasan hutan lindung, kawasan hutan produksi tetap, dan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi di Kabupaten Konawe dan Kolaka Timur, Sultra.

Kementerian PUPR, kata Ibrahim, merupakan salah satu pemegang IPPKH yang berkewajiban menyelesaikan tata batas areal IPPKH tersebut. Dan berdasarkan surat direktur pengukuhan dan penatagunaan kawasan hutan atas nama Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Nomor S. 222/PKTL-KUH/ PKHW2/PLA.2/3/2021 tanggal 10 Maret 2021, BPKHTL Wilayah XXII Kendari berkoordinasi dengan BWS IV Kendari terkait pelaksanaan penataan batas areal kerja. Selanjutnya, pelaksanaan penataan batas areal kerja tersebut dilaksanakan oleh BPKHTL Wilayah XXII Kendari dengan dibiayai oleh Kementerian PUPR selaku pemegang IPPKH.

Ibrahim mengungkapkan, salah satu yang menjadi masalah adalah temuan kelebihan alokasi anggaran. Dimana, biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan kegiatan tersebut adalah sebesar Rp269.909.100, yang terdiri dari supervisi penataan batas areal kerja yang dilaksanakan oleh BWS IV Kendari sebesar Rp179.021.600. Pengukuran batas sendiri sekaligus batas luar kawasan hutan yang belum pernah ditata batas, sepanjang lebih kurang 1.942,07 meter, dengan rincian kegiatan inventarisasi trayek batas, pemancangan batas sementara dan identifikasi hak-hak pihak ketiga dan pemancangan batas definitif sebesar Rp90.887.500, dan bukti pertanggungjawaban.

Berdasarkan data yang diperoleh AMPLK Sultra dari BPK RI ada temuan sisa anggaran dari kegiatan swakelola tersebut.

“Sesuai dengan data dari Kementerian Keuangan, realisasi belanja terkait pelaksanaan kegiatan penataan batas areal kerja adalah sebesar Rp352.049.549. Dengan demikian masih terdapat sisa sebesar Rp82.140.449, (Rp352.049.549-Rp269.909.100), yang masih berada dalam tanggung jawab pemberi kerja,” beber Ibrahim.

Terkait hal tersebut, Ibrahim menduga ada oknum yang mempunyai kewenangan di BPKHTL Wilayah XXII Kendari yang bermain dengan anggaran tersebut.

“Kami duga ada oknum yang memiliki kewenangan di instansi tersebut yang bermain dan mendapatkan sisa anggaran tersebut, karena mereka yang memiliki kewenangan dan berdasarkan data yang kami peroleh dari BPK RI ada sisa anggaran dari kegiatan swakelola tersebut,” ujarnya.

Ibrahim juga mengungkapkan, hasil kunjungannya di Kantor BPKHTL XXII Kendari terpampang jelas baliho yang menerangkan bahwa wilayah kantor tersebut masuk wilayah zona integritas, wilayah bebas bersih melayani (WBBM) dan wilayah bebas korupsi.

“Pada dasarnya kami berharap dengan adanya temuan tersebut aparat penegak hukum (APH) dapat mengambil langkah tegas,” kata Ibrahim.

Selain itu, dia meminta kepada Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mengevaluasi Kepala BPKHTL Wilayah XXII Kendari. Sebab, pihaknya menduga oknum tersebut yang memiliki kewenangan selaku yang menandatangani MoU dan penanggungjawab atas kegiatan swakelola tersebut.

“Kami minta Kejati Sultra dapat memproses temuan BPK RI dan Dirjen KLHK dapat mengevaluasi Kepala BPKHTL Wilayah XXII Kendari atas adanya temuan tersebut, yang kami duga dapat mencoreng instansi yang dua tahun belakangan ini telah memperoleh zona integritas sebagai wilayah yang bebas bersih melayani atau WBBM dan wilayah bebas korupsi atau WBK,” pungkasnya.

Sementara itu, Kepala Seksi (Kasi) Penerangan Hukum (Penkum) Kejati Sultra, Dody menyebut, pihaknya telah menerima laporan aduan masyarakat tersebut. Selanjutnya adalah terhadap pelaporan pengaduan tersebut akan diteruskan ke pimpinan untuk kemudian ditindaklanjuti.

“Ketika sudah ditindaklanjuti akan dibuat telaah terkait aduan tersebut. Kemudian diterbitkan surat perintah tugas untuk dilakukan puldata dan pulbaket. Apabila sudah memenuhi syarat-syarat akan ditindaklanjuti ke tahap berikutnya,” ujar Dody.

Penulis : R. Hafid