Hutan Perempuan, Hutan Sakral di Papua yang Terancam Hilang

Hutan bakau dan perempuan di Papua. Foto: Istimewa

Kendari. Bentara Timur. Percaya enggak. Ada hutan yang hanya boleh dimasuki oleh perempuan.

Tempatnya ada di Teluk Youtefa, Papua. Teluk Youtefa merupakan  hutan mangrove atau bakau yang dijaga dan dilestarikan oleh kaum perempuan.

Hutan mangrove di Teluk Youtefa sudah berumur ratusan tahun,  tersebar di beberapa kampung seperti Tobati, Enggros, Nafri, dan Entrop.

Hutan perempuan masuk dalam kawasan Taman Wisata Alam Teluk Youtefa dengan luas 1,675 hektar.

Namun, ada aturan yang sangat menarik hanya perempuan yang diperbolehkan memasuki kawasan ini. Laki-laki, meskipun tinggal di sekitar kawasan itu, tidak diizinkan memasuki hutan ini. Jika mereka melanggar, siap-siap dikenai sanksi adat berupa denda manik-manik yang bisa mencapai Rp 1 juta.

Pelarangan ini bukan tanpa alasan. Tokoh perempuan Papua, Angel, menjelaskan bahwa aturan ini adalah bentuk pembagian tugas yang sudah ada sejak zaman nenek moyang. Hutan ini menjadi tempat perempuan berinteraksi, mengobrol, dan menjaga tradisi leluhur mereka.

“Kaum laki-laki biasanya berkumpul di para-para atau balai kampung dan mencari ikan di laut, sementara perempuan mencari bahan pangan di hutan bakau atau hutan perempuan,” cerita Angel kepada Bentara Timur pada medio November 2024.

Setiap hari ketika air laut mulai surut, mama-mama di sana baik sendiri atau berkelompok untuk mencari   bahan pangan seperti kerang, siput, kepiting  dan kayu bakar.

Banyak perempuan yang melakukan ritual tradisional Tonotwiyat, mereka melepas pakaian saat mencari kerang di lumpur mangrove. Ini dilakukan untuk memudahkan mereka mencari kerang di lumpur mangrove.

Ancaman Kelestarian Hutan Perempuan

Hutan mangrove di Teluk Youtefa bukan hanya penting untuk keberlangsungan hidup masyarakat, tetapi juga memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Hutan mangrove menjadi lumbung pangan penduduk asli yang bermukim di sekitar Teluk Youtefa.

Namun, kondisi hutan perempuan ini kini terancam. Seperti yang diungkapkan Angel, sampah plastik yang menumpuk di akar-akar mangrove dan pencemaran air menjadi masalah yang semakin memburuk.

“Dulu kalau berenang di Teluk Youtefa tidak perlu khawatir, sekarang airnya kotor, gatal-gatal kalau menyelam terlalu lama,” keluhnya.

Selain itu, warga juga tidak lagi bisa membuat garam karena air laut yang kini tercemar.

Salah satu ancaman terbesar bagi hutan mangrove ini adalah penurunan luas kawasan hutan akibat pembangunan. Sejak 1967, luasan hutan mangrove di Teluk Youtefa telah menyusut lebih dari 50%. Pada 1967, hutan bakau di Teluk Youtefa mencapai 514,24 hektare, namun pada 2014 hanya tersisa 259,1 hektare, dan pada 2018, tinggal 233,12 hektare. (Baigo Hamuna dkk, 2018)

Penyusutan ini disebabkan oleh pembangunan jalan, jembatan, dan pemukiman yang terus berkembang di pesisir. Mirisnya penyusutan luasan hutan perempuan masih berlangsung sampai saat ini.

Tidak hanya itu, pencemaran logam berat juga menjadi masalah serius. Penelitian  dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Cendrawasih, John Dominggus Kalor, menunjukan bahwa ikan dan kerang di Teluk Youtefa sudah tercemar logam berat timbal (Pb). Kadar timbal dalam ikan belanak di Teluk Youtefa mencapai 2,46 miligram per kilogram, jauh di atas batas aman yang hanya 0,5 miligram per kilogram.

Hal ini juga tercermin pada kadar timbal dalam darah warga sekitar, yang berada di atas ambang batas aman dan dapat menyebabkan masalah kesehatan serius seperti anemia dan gangguan neurologis.

Tradisi Menjaga Kelestarian

Masyarakat di sekitar Teluk Youtefa juga memiliki aturan ketat untuk menjaga kelestarian hutan perempuan. ketika  memasuki hutan, perempuan diwajibkan untuk menjaga sikap dan perilaku mereka.

Tidak boleh bertengkar atau memiliki masalah dengan keluarga sebelum masuk ke hutan. Tidak boleh berbicara kasar atau jorok, dan selama menstruasi tidak diperbolehkan berendam di lumpur.

Selain itu, pelestarian hutan mangrove juga dijaga melalui aturan adat yang ketat. “Kami hanya membawa bekal secukupnya, biasanya hanya air, agar tidak meninggalkan sampah. Tidak diperbolehkan memotong sembarang kayu, dan hanya boleh memungut ranting-ranting yang sudah jatuh,” ujar Angel.

Untuk menjaga kelestarian hutan dan menghindari eksploitasi yang berlebihan.

Penduduk di sana juga tidak pernah menargetkan hasil yang banyak saat mencari kerang atau bahan pangan lainnya ini dilakukan agar tidak terjadi eksploitasi dan hasil tangkapan tetap terjaga.

Penulis : Rosniawanti