KontraS Soroti Kondisi Hak Asasi Manusia di Indonesia yang Tak Membaik

Bentara Timur. Dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional ke-76, yang jatuh pada 10 Desember 2023, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) kembali merilis Catatan Hari HAM.

Publikasi tahunan ini merangkum dan mengevaluasi kondisi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM di Indonesia selama setahun terakhir, dengan penekanan pada regresi yang terjadi dalam beberapa aspek.

Dalam laporan KontraS diberi judul “Rezim Berganti, HAM Masih Dipinggirkan,” yang mengkritik ketidakberhasilan perubahan signifikan dalam kondisi HAM meski euforia Pemilu 2024 telah berlangsung. Meskipun disebut-sebut sebagai “pesta demokrasi,” kenyataannya, euforia tersebut tidak membawa kemajuan berarti dalam perlindungan HAM di Indonesia.

Bentara Timur, merangkum beberapa aspek pelanggaran HAM yang dilaporkan KontraS.

Extrajudicial Killing dan Penyiksaan Masih Marak

KontraS mencatat bahwa sepanjang Desember 2023 hingga November 2024, terdapat 45 peristiwa extrajudicial killing “penghilangan nyawa”  mengakibatkan 47 korban. Dari total korban, 27 merupakan tersangka tindak pidana, sementara 20 lainnya bukan tersangka.

Ironisnya, 24 korban di antaranya terbunuh meskipun tidak melawan aparat. Sebagian besar korban tewas akibat penembakan senjata api (29 orang), sementara 18 lainnya meninggal akibat penyiksaan.

Sepanjangn tahun tersebut, KontraS juga mencatat 62 peristiwa penyiksaan yang menewaskan 19 orang dan melukai 109 lainnya. Sebanyak 93 korban merupakan warga sipil biasa, sementara 35 korban lainnya adalah tersangka tindak pidana. Laporan ini menunjukkan bahwa aparat seringkali menggunakan kekerasan sebagai alat penegakan hukum dan pemeliharaan keamanan.

Serangan terhadap Kebebasan Sipil dan Jurnalis

Hak untuk berekspresi dan kebebasan sipil juga terus terancam. Aksi-aksi protes dan kebebasan berpendapat sering kali dibubarkan paksa oleh aparat keamanan, yang seharusnya melindungi hak-hak tersebut.

Jurnalis juga tak luput dari sasaran serangan, KontraS mencatat serangan terhadap jurnalis, dengan 20 peristiwa yang melibatkan kekerasan fisik, intimidasi, kriminalisasi, dan penangkapan sewenang-wenang. Sebanyak 23 jurnalis terluka dalam berbagai insiden ini, dengan mayoritas pelaku adalah aparat kepolisian.

Pelanggaran HAM di Sektor Pembangunan dan Sumber Daya Alam

Dalam sektor pembangunan, KontraS juga mencatat 161 peristiwa pelanggaran HAM yang terkait dengan sektor sumber daya alam, termasuk okupasi lahan, pengrusakan, intimidasi, penggusuran paksa, dan kriminalisasi.

Selain itu, proyek Strategis Nasional (PSN) yang dijalankan pemerintah juga mengakibatkan pelanggaran HAM, terutama terhadap masyarakat adat. Dari 23 peristiwa yang tercatat, 20 di antaranya terkait dengan perusahaan swasta dan tiga lainnya dengan proyek pemerintah. Para korban mengalami penggusuran paksa, intimidasi, dan kriminalisasi.

Impunitas dan Kontroversi Terhadap Rezim Orde Baru

Tahun 2024 juga menandai periode yang penuh kontroversi terkait dengan impunitas atas pelanggaran HAM. KontraS mencatat bahwa pada 28 Februari 2024, Presiden Joko Widodo memberikan kenaikan pangkat jenderal kehormatan kepada Prabowo Subianto, yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM masa lalu.

Selain itu, pada 25 September 2024, MPR menghapus nama Soeharto dari TAP MPR No. XI/MPR/1998, yang menegaskan bahwa pemerintah mengesampingkan rekam jejak kejahatan HAM yang terjadi di bawah kepemimpinan Orde Baru.

Upaya pemutihan sejarah Orde Baru ini semakin nyata dengan munculnya wacana untuk menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, meski ia tak pernah diadili atas pelanggaran berat HAM selama masa pemerintahannya.

Kekerasan di Tanah Papua dan Impunitas

KontraS juga menyoroti situasi di Tanah Papua, di mana kekerasan terhadap warga sipil terus berlangsung. Sepanjang Desember 2023 hingga November 2024, tercatat 51 peristiwa kekerasan yang mengakibatkan 21 orang tewas dan 36 lainnya luka-luka. Pelaku kekerasan ini berasal dari aparat Polri, TNI, dan kelompok bersenjata pro-kemerdekaan Papua. Pemerintah dinilai tidak memiliki solusi konkret untuk menghentikan siklus kekerasan dan konflik yang terus berlangsung di wilayah tersebut.

Diplomasi HAM yang Tidak Konsisten

Di panggung internasional, pemerintah Indonesia sering mengklaim kesuksesan dalam isu HAM, seperti menyebut Pemilu 2024 sebagai bukti keberhasilan demokrasi dan mengakui beberapa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Namun, kenyataannya di dalam negeri, kebijakan pemerintah sering kali bertentangan dengan narasi yang dibangun di forum internasional. Dalam Sidang ICCPR di Jenewa, Indonesia mendapat kritik terkait penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, kekerasan terhadap masyarakat Papua, dan pembatasan ruang sipil.

Lebih jauh lagi, meski Indonesia vokal mendukung Palestina di forum internasional, data perdagangan dengan Israel, termasuk impor teknologi pengawasan, menunjukkan adanya inkonsistensi dalam kebijakan HAM.

Tantangan di Masa Pemerintahan Selanjutnya

Melihat ke depan, situasi HAM di Indonesia berisiko stagnan atau bahkan memburuk, terutama dengan pemerintahan baru di bawah Prabowo Subianto. Dengan kebijakan pembangunan yang berfokus pada proyek strategis nasional dan infrastruktur besar-besaran, potensi pelanggaran HAM, terutama terhadap masyarakat adat dan lokal, tetap tinggi. Pendekatan ekstraktif yang terus dilanjutkan cenderung mengabaikan hak-hak masyarakat, terutama hak atas tanah dan lingkungan hidup.

Dalam laporan ini, KontraS menegaskan pentingnya keberlanjutan perjuangan untuk hak asasi manusia di Indonesia, meskipun tantangan yang dihadapi semakin besar dan kompleks.

Penulis : Rosniawanti