Hukum  

FH UHO Kendari Gelar FGD RUU Kelautan, Bahas Penegakan Hukum di Laut

Fakultas Hukum (FH) Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari menyelenggarakan focus group discussion (FGD) dengan membahas telaah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kelautan yang dihadiri akademisi dari pelbagai perguruaan tinggi di Sulawesi Tenggara (Sultra) yakni, Universitas Muhammadiyah (UM) Kendari, Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra), dan Universitas Karya Persada Muna, di Aula FH UHO, Rabu (26/6/2024). Foto/ist
Fakultas Hukum (FH) Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari menyelenggarakan focus group discussion (FGD) dengan membahas telaah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kelautan yang dihadiri akademisi dari pelbagai perguruaan tinggi di Sulawesi Tenggara (Sultra) yakni, Universitas Muhammadiyah (UM) Kendari, Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra), dan Universitas Karya Persada Muna, di Aula FH UHO, Rabu (26/6/2024). Foto/ist

Kendari, Bentara Timur – Fakultas Hukum (FH) Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari menyelenggarakan focus group discussion (FGD) dengan membahas telaah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kelautan yang dihadiri akademisi dari pelbagai perguruaan tinggi di Sulawesi Tenggara (Sultra) yakni, Universitas Muhammadiyah (UM) Kendari, Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra), dan Universitas Karya Persada Muna, di Aula FH UHO, Rabu (26/6/2024).

Para akademisi dari beberapa kampus di Sultra itu juga ikut memberikan tanggapan, analisis, kritik, dan saran terkait pengaturan dalam rancangan perubahan UU Kelautan. Pemantik dalam FGD ini adalah Dr. Herman, Dr. Ahmad Rustan, dan Dr. Sahrina Safiuddin, dengan moderator Dr. Heryanti.

Ketua pelaksana kegiatan FGD, Dr. Ali Rizky mengatakan, bahwa keberadaan Indonesia sebagai negara maritim menempatkan Indonesia tidak hanya memiliki sumber daya alam laut dan pesisir yang melimpah. Namun juga hendaknya senantiasa memiliki penyelenggaraan keamanan, keselamatan, dan pelindungan lingkungan laut yang efektif, efisien serta responsif terutama terkait penegakan kedaulatan negara atas laut.

Ali Rizky menjelaskan, terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur terkait keamanan laut, kemaritiman dan penegakan hukum berserta lembaga-lembaga terkait hal itu. Namun sejumlah regulasi itu menyebabkan terjadinya tumpang tindih kewenangan antara instansi/lembaga itu sendiri.

“Indonesia belum memiliki lembaga coast guard atau coast maritim, akibatnya jika terjadi pelanggaran hukum di laut, seringkali penanganannya tidak tuntas. Selaras dengan itu UU Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan dianggap belum sepenuhnya memberikan kepastian hukum terhadap operasi keamanan laut dan upaya penegakan hukum di laut sebagai kebutuhan hukum saat ini,” kata Ali Rizky.

Lebih lanjut, Ali Rizky menjelaskan, RUU perubahan atas UU Kelautan memasukkan beberapa pengaturan baru terkait keamanan laut dan penegakan hukum (pasal 11a sampai 11c) serta penguatan kedudukan Bakamla sebagai Indonesian Sea and Coast Guard untuk melakukan operasi penjagaan keamanan laut dan penegakan hukum laut dengan bertanggungjawab langsung kepada Presiden (pasal 12a).

Bakamla juga dalam RUU ini diberi kewenangan penyidikan dan kewenangan sebagai intelijen agar penegakan hukum lebih efektif dan efisien. Adanya pengaturan baru tersebut tentu sangat terkait dengan kepastian hukum tata kelola keamanan dan penegakan hukum laut, sehingga perlu untuk menjaring aspirasi dan pendapat dari para akademisi atas RUU perubahan UU kelautan ini terkait penguatan penegakan hukum laut.

Utamanya kejelasan peran dan fungsi dari lembaga-lembaga yang menjadi bagian dari Bakamla terkait keamanan dan penegakan hukum, sehingga Bakamla dapat menjadi lembaga yang single agency multi task dalam penegakan hukum di laut.

Ketua Pusat Kajian dan Bantuan Hukum UHO ini mengungkapkan, hasil FGD menunjukkan bahwa RUU perubahan UU Kelautan masih menyisahkan sejumlah masalah terkait ketidakjelasan tugas kewenangan masing-masing lembaga yang tergabung dalam Bakamla, karena sejumlah lembaga itu telah memiliki regulasi tersendiri tentang tugas kewenangannya.

Sejumlah perubahan pada RUU itu tidak memberikan kepastian hukum pengaturan kewenangan tentang pertahanan keamanan, penegakan hukum, dan keamanan pelayaran utamanya peran TNI dan Polri.

Olehnya itu, para akademisi menyampaikan beberapa usulan yaitu, sistem yang ada sekarang diarahkan ke single sgency multy task dengan menempatkan kepolisian sebagai leading sektor. Kemudian, sistem tidak mengarah pada single agency multy task ataupun ke multy agency single task, namun dilakukan pembentukan peraturan baru setingkat UU masing- masing tentang pertahanan keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan pelayaran.

Lalu penerapan sistem single agency multy task yang di back up oleh UU yang sifatnya integrative terkait kewenangan masing-masing lembaga dengan Kepolisian sebagai leading sektor.

“Diharapkan dengan upaya pembentukan RUU Kelautan yang baru dapat memenuhi tujuan hukum yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum lebih jauh lagi mampu membawa Indonesia menjadi negara maritim yang kuat dan membawa kesejahteraan,” pungkas alumni Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga itu.

Penulis : R. Hafid