Bentaratimur.id

“Siap, Ndan!”: Bahaya Penggunaan Bahasa Militeristik Dalam Kehidupan Sehari-hari

Di kantor, pasar, atau percakapan sehari-hari, kita sering mendengar orang menanggapi instruksi dengan kata-kata militeristik seperti “siap!”, “siap, Ndan (komandan)!”, dan “86”.

Istilah-istilah yang berasal dari ranah militer ini sering diperlakukan seolah-olah wajar, bahkan positif. Namun, dari sudut pandang analisis wacana dan metafora konseptual, normalisasi bahasa militer dalam ruang sipil menyimpan risiko besar terhadap budaya komunikasi dan cara kita memandang hubungan sosial.

Sejarah dan kebiasaan bahasa militeristik di Indonesia

Di Indonesia, normalisasi penggunaan bahasa militeristik mempunyai akar sejarah panjang. Dalam Orde Baru, melalui doktrin Dwifungsi ABRI, militer hadir tidak hanya dalam pertahanan, tetapi juga ikut menduduki posisi strategis dalam pemerintahan, birokrasi, pendidikan, dan bisnis.

Dalam bidang pendidikan, contohnya, kebijakan Orde Baru menggunakan idelogi militeristik untuk menanamkan nilai kepatuhan dan loyalitas.

Pada saat itu, pendidikan diarahkan untuk menopang pembangunan ekonomi dengan membentuk siswa sebagai calon tenaga kerja yang kelak menggerakkan roda perekonomian, sekaligus menjadi perpanjangan tangan kekuasaan dalam menentukan arah kebijakan negara.

Monta’u, Cara Berladang dengan Pengetahuan Leluhur Warga di Pulau Wawonii

Proses belajar tidak ditujukan untuk menumbuhkan pengabdian kepada rakyat, melainkan membentuk kepatuhan terhadap kepentingan rezim yang berkuasa.

“Siap”, “ndan”, dan “86” sebagai praktik wacana

Retorika militer yang kuat tersebut tercermin di ranah publik, khususnya dalam penggunaan kata-kata seperti “siap”, “ndan”, dan “86”.

Dalam dunia militer, setiap kali prajurit menerima perintah, menyampaikan jawaban, maupun mengajukan pertanyaan, mereka selalu mengawali tuturan dengan kata “siap” untuk menunjukan kesiapan fisik dan mental dalam mematuhi instruksi atasan.

Namun, ketika merembes ke ruang sipil, kata ini bisa menciptakan tekanan: bawahan merasa harus selalu patuh tanpa ada ruang untuk berdialog.

Hal serupa berlaku pada sapaan “ndan”, singkatan dari komandan. Dalam militer, panggilan ini menegaskan hierarki dan penghormatan terhadap atasan. Namun di ruang sipil, penggunaan “Ndan” meski terdengar santun tetap membawa logika otoritas dan komando.

Sepuluh Tahun Mengabdi, Fikri Ibrahim Buktikan Ketulusan Berbuah Penghargaan

Lama-kelamaan, ini bisa menormalisasi pola pikir paternalistik: pemimpin sebagai komandan yang memberi perintah, sementara bawahan hanya prajurit yang harus taat.

Sementara itu, kode “86” dalam komunikasi kepolisian berarti “dimengerti untuk dilaksanakan”. Awalnya dipakai dalam komunikasi radio antar anggota kepolisian, kode ini kini merembes ke ruang publik.

Ungkapan “86, Ndan!” makin sering terdengar di luar dunia keamanan. Padahal, makna asli kode ini adalah tanda penerimaan perintah yang harus segera dieksekusi, tanpa ruang diskusi.

Dalam konteks sipil, penggunaannya berisiko menanamkan pola pikir bahwa komunikasi selalu satu arah: ada yang memerintah, ada yang melaksanakan.

Risiko metafora militer dalam komunikasi sehari-hari

Teori metafora konseptual menjelaskan bahwa metafora bukan hanya soal gaya bahasa, melainkan cara kita memahami dunia. Metafora membentuk cara kita berpikir dan bertindak.

Ketika istilah seperti “siap, “ndan”, dan “86” dinormalisasi, kita tidak sekadar bercanda atau meniru jargon militer. Kita turut memperkuat kerangka kognitif yang menempatkan komunikasi sipil dalam logika satu arah, vertikal, dan menuntut kepatuhan.

Beberapa riset menegaskan bahayanya. Di dunia medis, penggunaan metafora perang dan militer pada pasien yang mengidap penyakit kanker seperti end this Holocaust (akhiri perang Holocaust ini), a vast army of tumor assassins (pasukan pembunuh tumor), dan cell wars (perang sel) bisa menyebabkan diagnosis dan pengobatan yang berlebihan.

Kata-kata tersebut bisa memberikan harapan yang tidak realistis bagi pasien. Pasien yang “kalah perang” bisa merasa gagal secara pribadi.

Penelitian ini mengusulkan metafora alternatif, seperti metafora perjalanan yang lebih manusiawi.

Selain itu, penggunaan kata-kata militer di tempat kerja atau bisnis seperti execute (eksekusi), killing it (bunuh itu), dan in the trenches (di parit) dapat “membantai moral”.

Alih-alih memotivasi, istilah agresif justru menimbulkan stres, memicu konflik antar kolega, dan mengikis semangat kolaborasi.

Praktisi kesehatan mengungkap bahwa penggunaan kata-kata mempunyai dampak pada otak pembicara dan pendengar. Kata-kata negatif memicu respons stres di otak dan dapat merusak penalaran dalam komunikasi.

Penggunaan metafora perang yang berlebihan juga bisa meremehkan pengalaman veteran perang dan mendistorsi makna kesuksesan.

Menyamakan target bisnis atau konteks percakapan sehari-hari dengan “pertempuran” atau “medan perang” berisiko menghilangkan empati terhadap penderitaan nyata akibat perang.

Kesadaran memilih kata

Kata-kata tidak pernah netral. Setiap kali kita berkata “siap!”, “86!”, atau memanggil “ndan”, kita ikut memperkuat cara pandang dunia tertentu.

Penggunaan kata-kata seperti “baik”, “ok”, atau “ngerti” memiliki arti yang lebih netral. Menormalkan penggunaan negasi seperti “tidak setuju” atau “belum paham/mengerti” dapat membuka ruang dialog yang lebih sehat ketimbang komunikasi satu arah.

Daripada sapaan komando, kita bisa menggunakan panggilan yang lebih egaliter atau profesional sesuai konteks seperti “pak/bu” atau “mas/mba/kak”.

Analisis kebahasaan menunjukkan bahwa normalisasi bahasa militeristik di ranah sipil bukanlah hal sepele. Ini bisa mereproduksi logika hierarki dan kepatuhan yang secara historis terkait dengan Orde Baru, sekaligus menutup ruang dialog yang lebih egaliter.

Mengurangi penggunaan bahasa militeristik di luar konteksnya bukan berarti melemahkan disiplin, melainkan membuka ruang bagi kreativitas, empati, dan komunikasi yang lebih sehat dan demokratis.

 

Artikel ini pertamakali terbit di The Conversation