Pagi yang seharusnya tenang di Sihaporas, Kabupaten Simalungun, berubah menjadi mimpi buruk, pada 22 September 2025. 150 orang berseragam keamanan PT Toba Pulp Lestari (TPL) datang membawa tameng dan alat berat, menghancurkan tanaman warga, memukul perempuan adat, hingga membakar rumah-rumah mereka. Kini, lebih dari sebulan berlalu, luka di tubuh memang mulai sembuh, tapi luka di hati, trauma, kehilangan, dan ketakutan masih melekat. Tanah dan kebun yang selama ini menjadi sumber hidup telah dikuasai perusahaan, meninggalkan Sihaporas dalam duka yang belum usai.
Bentara Timur – Simalungun – Lebih dari sebulan telah berlalu sejak Masyarakat Adat Sihaporas di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, menjadi korban serangan brutal yang dilakukan oleh ratusan orang berseragam keamanan PT Toba Pulp Lestari (TPL). Luka fisik perlahan sembuh, tetapi trauma, ketakutan, dan kehilangan sumber penghidupan masih membekas dalam kehidupan mereka hingga kini.
Serangan itu terjadi pada Senin, 22 September 2025, sekitar pukul 08.00 WIB. Pagi yang semula tenang berubah menjadi kepanikan. Warga yang tengah bersiap beraktivitas di sekitar Posko Perjuangan Masyarakat Adat LAMTORAS-Sihaporas tiba-tiba didatangi oleh sekitar 150 orang sekuriti PT TPL lengkap dengan tameng dan perlengkapan pengamanan.
Putri Ambarita, seorang pemuda adat, menjadi saksi sekaligus korban kekerasan. Ia masih gemetar setiap kali mengingat kejadian yang hampir merenggut nyawa keluarganya.
“Pagi itu kami di posko perjuangan. Tiba-tiba banyak mobil datang, penuh dengan orang berseragam dan alat berat. Sekitar 150 sekuriti PT TPL turun dengan tameng. Beberapa perempuan adat bersama namboru saya yang sudah berumur 79 tahun mencoba bertanya apa tujuan mereka. Mereka bilang hendak menanam, padahal di situ sudah ada tanaman kami, kopi, kacang, jahe, cabai sumber hidup kami,” tutur Putri dengan suara bergetar.
Warga meminta pihak perusahaan menunjukkan surat tugas resmi. Namun tak ada satu pun yang memperlihatkannya. Bukannya berdialog, seorang pria yang disebut sebagai komandan keamanan PT TPL, Rocky Tarihoran, justru memberi perintah tegas.
“Bersiap ! Dorong !”
Seruan itu, langsung memicu kekacauan. Barisan perempuan adat yang berdiri di depan didorong hingga terjatuh. Putri yang mencoba mendokumentasikan kejadian tersebut menjadi sasaran kekerasan.
“Saya melihat sendiri orang tua kami dipukuli dengan kayu rotan dan pentungan. Ibu saya dihadang oleh Rocky Tarihoran. Ada yang ditendang dari belakang hingga jatuh dan dipukuli. Kami hanya minta mediasi, tapi malah diserang. Mereka melempari kami dengan batu dan menyiram air dari tangki,” kenangnya.
Putri dan seorang mahasiswa IPB, Feny Siregar, bahkan dituduh sebagai provokator hanya karena merekam kejadian itu. Rocky Tarihoran disebut berusaha merampas telepon genggam Putri untuk menghapus rekaman, namun ia berhasil mempertahankannya.
Sekitar pukul 12.00 WIB, serangan kedua kembali terjadi. Kali ini lebih brutal.
“Adikku Dimas, penyandang disabilitas, sedang di dalam rumah. Kami dengar teriakan.
bakar ! bakar ! Batu dilempar, dinding dipukul. Saya dan ibu berlari menyelamatkan Dimas yang tak bisa berjalan dan sulit bicara. Saat kami menggendongnya keluar, kami justru dipukul dan didorong hingga jatuh. Dimas pun dipukul hingga kepalanya robek,” ujar Putri sambil menahan air mata.
Akibat serangan itu, 34 warga luka-luka, dengan 14 di antaranya luka berat dan harus dirawat di rumah sakit. Sepuluh unit sepeda motor dan satu mobil dibakar, delapan kendaraan dirusak, dan lima rumah warga hangus terbakar.
Kini, kebun dan tanaman masyarakat adat Sihaporasdikuasai PT TPL, sebagian bahkan diganti dengan tanaman eukaliptus.
Mangittua Ambarita, tokoh adat LAMTORAS-Sihaporas, menyebut peristiwa 22 September hanyalah puncak dari konflik panjang yang telah berlangsung lebih dari dua dekade.
“Sejak 1998 kami menuntut agar wilayah adat kami dikembalikan,” ujarnya.
Menurutnya, perjuangan masyarakat Sihaporas berawal dari penetapan sepihak wilayah adat mereka sebagai kawasan hutan negara, yang kemudian dikonsesikan kepada PT Toba Pulp Lestari. Sejak itu, benturan antara masyarakat dan perusahaan terus berulang.
Pada tahun 2002, Mangittua menjadi korban kriminalisasi. Ia dipenjara karena mengelola tanah warisan orang tuanya. “Anak saya sampai putus sekolah waktu itu,” kenangnya.
Peristiwa serupa berulang pada 2019, ketika dua warga ditangkap dan dipenjara setelah menghadang penanaman eukaliptus. Tahun 2024, lima warga diculik pada dini hari dan diserang oleh orang berpakaian preman. Satu di antaranya masih menjalani proses hukum hingga kini.
“Kami tidak pernah berhenti memperjuangkan hak kami. Kalau ada pihak yang menentang perjuangan ini, mereka patut diduga menjadi alat perusahaan untuk melemahkan kami,” tegas Mangittua. “Sejak dulu hingga sekarang, kami hanya berhadapan dengan satu hal, klaim sepihak kawasan hutan negara dan aktivitas PT TPL.”
Mersy Silalahi, perempuan adat Sihaporas, menggambarkan dampak paling nyata dari serangan itu: hilangnya sumber penghidupan.
“Sejak penyerangan itu, seluruh sumber penghidupan kami lumpuh. Kebun kami itu dapur hidup kami. Di sanalah kami menanam kopi, kacang, ubi, padi, dan sayur-sayuran — semua sumber pangan kami dan anak-anak. Sekarang semua dikuasai perusahaan, dan kami tidak bisa lagi masuk,” ujarnya.
Bagi Mersy, kebun bukan sekadar tanah untuk menanam, tetapi ruang hidup dan kedaulatan perempuan adat.
Ia menjelaskan bahwa perempuan di Sihaporas berperan besar dalam siklus kehidupan pertanian dari menanam, memanen, hingga menjual hasil bumi untuk kebutuhan rumah tangga dan biaya sekolah anak.
“Setelah kebun kami dirampas, yang paling dulu merasakan lapar itu kami perempuan dan anak-anak. Kami kehilangan segalanya, bukan hanya kebun, tapi juga harga diri sebagai perempuan adat,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

Ketika Doa dan Cangkul Melawan Korporasi: Solidaritas untuk Sihaporas
Laporan dan Temuan Mengerikan
Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN) melaporkan 14 laporan polisi atas kasus penyerangan 22 September 2025. Laporan itu mencakup 9 kasus penganiayaan serta 5 kasus perusakan dan pembakaran rumah serta kendaraan milik warga. Semua laporan telah naik ke tahap penyidikan, dan para pelapor telah menerima SPDP dari Kejaksaan Negeri Simalungun.
Namun proses hukum diwarnai kejanggalan. Ketika masyarakat kembali ke lokasi sehari setelah serangan, puing-puing rumah dan kendaraan yang dibakar telah hilang.
Pada 8 Oktober 2025, polisi melakukan olah TKP dan menemukan tiga sepeda motor warga terkubur tiga meter di bawah tanah. Dua hari kemudian, olah TKP lanjutan menemukan mobil milik Giovani Ambarita juga dalam kondisi terbakar dan dikubur sekitar 40 meter dari lokasi aslinya.
Audo Sinaga, kuasa hukum dari TAMAN, menilai temuan itu memperkuat dugaan adanya upaya sistematis untuk menghilangkan barang bukti.
“Kami menduga kuat ada upaya sengaja dari pihak pekerja atau PT Toba Pulp Lestari untuk menghilangkan barang bukti dan menghambat penyelidikan. Kami meminta Polres Simalungun segera menuntaskan penyidikan dan bersikap adil atas laporan masyarakat adat,” tegasnya.
Solidaritas dan Upaya Bersama
Jhontoni Tarihoran, Ketua Pengurus Harian AMAN Tano Batak, menyebut bahwa kasus Sihaporas adalah cerminan dari minimnya perlindungan negara terhadap masyarakat adat.

“Yang terjadi di Sihaporas bukanlah konflik biasa. Ini akibat dari pengabaian negara terhadap hak-hak masyarakat adat dan pemberian izin korporasi tanpa mempertimbangkan sejarah dan keberadaan masyarakat di sana,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa AMAN bersama berbagai organisasi masyarakat sipil telah melakukan langkah-langkah koordinatif untuk menanggapi serangan itu, mulai dari pendampingan hukum, advokasi ke Ombudsman RI, hingga laporan ke Komnas HAM dan pihak kepolisian.
“Kami terus mendorong penyelesaian yang berkeadilan, bukan kekerasan. Kami ingin negara hadir dengan cara yang benar, bukan membiarkan rakyatnya terus disakiti,” katanya.
Jhontoni juga menekankan bahwa perlawanan masyarakat Sihaporas telah menginspirasi banyak komunitas adat lain di Tano Batak. “Mereka berani berdiri mempertahankan tanah, dan itu menjadi simbol keteguhan bagi seluruh Masyarakat Adat di kawasan Danau Toba” tambahnya.
Janji yang Tak Pernah Ditepati
Sebelum penyerangan warga sudah melakukan berbagai upaya. Beberapa lembaga negara telah berkunjung ke Sihaporas, mulai dari DPRD Simalungun, DPR RI, Komnas HAM, hingga Kementerian Hukum dan HAM. Dalam pertemuan yang diinisiasi Komisi XIII DPR RI bersama Direktur PT TPL, disepakati bahwa masyarakat akan bebas mengakses kebunnya dan jalan yang diputus akan dibuka kembali.
Namun kesepakatan itu tak pernah dijalankan. PT TPL justru memutus kembali akses jalan menuju kebun warga bahkan setelah diperbaiki secara gotong royong oleh masyarakat lintas iman.
Kini, Masyarakat Adat Sihaporas hidup dalam kepungan ketidakpastian, kehilangan tanah, sumber pangan, dan rasa aman di kampung halamannya sendiri.
“Kami mohon pemerintah, terutama Bupati Simalungun, segera turun tangan. Pulihkan tanah kami, karena di sanalah kehidupan kami berada,” pinta salah satu warga dengan lirih.
Sihaporas hari ini berdiri di persimpangan antara ketakutan dan keberanian.
Mereka terluka, tetapi tak menyerah.
Bagi mereka, mempertahankan tanah berarti mempertahankan hidup — warisan leluhur yang tak bisa digantikan oleh uang, proyek, atau janji-janji korporasi.
Penulis : Maruli Simanjuntak, Jurnalis warga Masyarakat Adat Tano Batak

 
									








