Angin Musim Selatan dan Aktivitas Menyuluh Perempuan Bajo

Ketgam : Air surut di pesisir perkampungan warga Bajo di Desa Mekar Jaya Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Teggara. Foto : Jum Nurdin

BokoriKendari. Bentara Timur – Bagi masyarakat suku Bajo, angin musim selatan dianggap sebagai masa paceklik. Pasalnya, di musim ini, angin bertiup sangat kencang sehingga mengganggu aktivitas melaut para nelayan.

Di musim ini, tangkapan para nelayan biasanya berkurang, bahkan ada yang sampai tak melaut beberapa hari karena angin kencang dan ombak tinggi. Periode angin musim selatan ini biasanya terjadi pada Juni–Agustus.

Namun, bagi sebagian perempuan suku Bajo yang mendiami wilayah pesisir Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra), angin musim selatan justru memberi berkah tersendiri.

Pada malam hari saat air laut surut, para perempuan ini menyuluh di sekitar Pulau Bokori. Hasilnya cukup untuk membantu keuangan keluarga saat hasil tangkapan suami mereka ketika melaut di siang hari berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali.

Pulau Bokori memang sudah lama menjadi tempat menggantungkan hidup nelayan yang mendiami wilayah pesisir Soropia.

Di pulau ini terdapat banyak hasil laut seperti teripang, kerang, keong laut, siput laut, udang, kepiting, cumi, dan ikan. Namun, saat menyuluh, para perempuan Bajo ini hanya mengambil teripang, kerang, keong laut, ataupun siput laut.

Ade (30) misalnya, saat angin musim selatan, ia bersama ibu-ibu di sekitar rumahnya di Desa Mekar rutin menyuluh ke Pulau Bokori.

Untuk penerangan, mereka menggunakan senter kepala dan membawa ember sebagai wadah untuk menyimpan hasil menyuluh.

Ade bercerita, biasanya dalam satu perahu mereka rombongan hingga 10 orang. Tak hanya ibu-ibu, biasanya juga ikut anak-anak yang masih bersekolah. Anak-anak ini ikut menyuluh untuk mendapatkan uang jajan agar tak perlu lagi meminta pada orang tuanya.

Mereka menyewa perahu katinting salah satu nelayan dengan tarif Rp5.000 per orang. Uang itulah yang digunakan pemilik perahu untuk membeli bakan bakar.

Ade mengaku, dalam semalam hasil menyuluh mereka setelah dijual bisa berkisar Rp50.000 hingga Rp100 ribu lebih. Itupun jika cuaca bersahabat. Namun, jika cuaca tidak bagus, biasanya mereka hanya bisa mengumpulkan Rp30.000 saja.

“Kalau kebetulan ketemu rezeki yah banyak bisa lebih Rp100 ribu, tapi kalau tidak ketemu rezeki yah cukup untuk lauk di rumah saja,” akunya.

Mereka biasanya pergi menyuluh berdasarkan waktu air surut. Jika air surut sore mereka juga akan pulang ke rumah lebih cepat. Misal ketika air surut jam 5 sore, mereka akan kembali ke rumah jam 11 malam. Jika air surut setelah magrib maka mereka akan pulang jam 12 malam. Semakin malam air surut maka mereka pulang dini hari.

“Kita biasanya ambil cabore (siput laut), babarubba (keong laut), kerang, juga teripang. Kalau kebetulan ketemu rezeki yah hasilnya banyak bisa sampai Rp100 ribu lebih, tapi kalau cuaca tidak bagus dan tidak ketemu rezeki yah palingan Rp30.000 saja,” cerita Ade, yang diamini ibu-ibu lainnya.

Menurut Ade, mereka jarang menangkap ikan, udang, ataupun cumi. Biasanya itu dilakukan oleh laki-laki saja karena mereka memang menyuluh di tempat yang airnya surut.

Ade menambahkan, hasil menyuluh yang harganya terbilang tinggi adalah teripang. Pengumpul yang ada di desanya mematok harga teripang putih Rp30.000 per kilogram untuk ukuran besar. Sedangkan ukuran kecil Rp5.000 hingga Rp10.000. Untuk teripang jenis lain bisa lebih tinggi lagi.

Sedangkan kerang, siput laut, dan keong laut mereka jual kepada warga sekitar. Harganya Rp10.000 per kantong.

Perempuan Bajo lainnya, Niar (40) mengaku hasil menyuluh mereka memang tidak seberapa, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saat hasil tangkapan suaminya tak banyak.

“Yah cukup untuk bekal (uang jajan) anak sekolah, beli sayur, beli bumbu dapur,” ujarnya.

Kadang hasil menyuluh mereka juga tak banyak sehingga hanya cukup untuk kebutuhan makan di rumah saja.

Baik Ade maupun Niar mengaku tak begitu terbebani melakukan aktivitas menyuluh. Kegiatan itu juga tak mereka lakukan setiap malam. Selain itu, saat menyuluh juga mereka ramai dan banyak bercanda dengan ibu-ibu lainnya.

“Sekarang angin musim selatan sudah mau berakhir, air surut juga sudah tengah malam, jadi kami ndak menyuluh lagi,” tutup Niar.

Penulis: Jum Nurdin