Kendari. Bentara Timur. Orang Bajo, disebut James Cameron, Sutradara film Avatar The Way of Water sebagai inspirasi dalam film ini. Seperti suku Metkayina dari bangsa Na’vi yang terancam, serupa orang-orang dari suku bajo di Pulau Labengki, juga menghadapi tekanan. Kehidupan mereka yang harmonis dengan alam terancam oleh kehancuran lingkungan.
Setiap pagi dan sore, anak-anak suku Bajo yang ceria melompat ke laut menjadi pemandangan saban hari. Laut adalah taman bermain mereka, tempat berenang, menyelam, memancing dan mencari kerang. Ini adalah keterampilan dasar yang dimiliki mayoritas orang-orang Bajo yang dikenal dengan julukan “sea gypsies”.
Pulau Labengki terletak di Kabupaten Konawe Utara Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) terkenal dengan air lautnya yang jernih dan hamparan pasir pantainya yang putih, serta spot wisata menarik lainya menjadikanya salah satu destinasi wisata unggulan di Sulawesi Tenggara. Jika ingin menikmati keindahan alam serupa Raja Ampat, namun dengan jarak yang lebih dekat, datanglah ke Labengki.
Hutan Perempuan, Hutan Sakral di Papua yang Terancam Hilang
Terkurung Ancaman
Pulau Labengki yang dulunya dikenal dengan nama Pulau Kusino merupakan kawasan konservasi, bagian dari Taman Wisata Alam laut (TWAL) Teluk Lasolo dengan luasan mencapai 81.800 hektar.
Dibalik pesonanya, Labengki menghadapi masalah besar yang mengancam ekosistem dan keberlanjutan hidup warganya.
Habib Nadjar Buduha, penggiat konservasi di Pulau Labengki mengungkapkan keprihatinanya, tanda-tanda kerusakan mulai terlihat. Jika tidak segera ditangani, kerusakan tersebut bisa terjadi dalam waktu dekat, mengancam kehidupan laut dan kesejahteraan suku Bajo yang sangat bergantung pada alam dan laut di sana.
Menurutnya walaupun tidak ada aktivitas tambang yang langsung terjadi di Pulau Labengki, dampak buruknya datang dari tambang yang beroperasi di daratan Konawe Utara. Tambang merusak ekosistem laut. Debu dan sedimen yang terbawa angin hujan dari aktivitas tambang menyebabkan air laut keruh dan merusak terumbu karang. Di daratan Konawe Utara ada sekitar 50 izin usaha pertambangan (IUP) yang beroperasi.
Menurut Habib, dampak dari aktivitas tambang ini mengubah lanskap kawasan ini.
“Jika tata kelola pertambangan di Konawe Utara tidak diperbaiki dalam waktu sepuluh tahun ke depan, Labengki bisa hilang dari peta pariwisata Indonesia,” tegas Habib.
Sedimen yang terbawa akibat aktivitas tambang sudah merusak biodiversitas di kawasan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Lasolo. Menurut pemantauan yang dilakukan Habib seluas 5 mil dari bibir pantai atau sekitar 8 kilometer persegi area terumbu karang telah rusak.
” Satu kilometer terumbu karang bisa menghasilkan hingga 25 ton ikan pertahun hitung saja jika kerusakan ini terjadi pada 8 kilometer persegi terumbu karang, potensi kerugian ekonominya sangat besar,” jelas Habib.
Hal lain, kawasan Labengki memiliki landscape yang unik. Lautan di sekitarnya bukanlah lautan lepas. Banyak laguna yang meluas hingga 15 kilometer menciptakan habitat yang ideal bagi terumbu karang sehingga banyak ikan yang hidup di sini. Karena kondisi itu kegiatan illegal fishing seperti pengeboman ikan, pembiusan dan penggunaan alat tangkap destruktif sering ditemukan di kawasan ini.
Jimmi Purnama dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tenggara menjelaskan kawasan konservasi ini merupakan habitat bagi berbagai jenis terumbu karang dan biota laut lainya yang dilindungi.
Kawasan konservasi merupakan benteng terakhir untuk melindungi keanekaragaman hayati. Sehingga perlu upaya intens untuk menyuarakan perlindungan sehingga tidak semakin masif di tahun-tahun ke depan.
Jimmy mengakui, aktivitas pertambangann menyumbang laju kerusakan pada wilayah konservasi.
”Jika tidak dilakukan 10 sampai 15 tahun kedepan kerusakan keanekaragaman hayati akan semakin terpampang nyata. Aktivitas tambang turut berdampak pada kawasan konservasi yang menjadi benteng terakhir keanekaragaman hayati yang dimiliki Sulawesi Tenggara,” jelasnya.
Dampak Ekonomi untuk Warga Bajo
Jika kerusakan di kawasan Pulau Labengki terus berlanjut bukan hanya alam yang akan menderita tetapi masyarakat Bajo yang menggantungkan hidup mereka dari laut juga akan terdampak.
Ada sekitar 200 kepala keluarga yang menghuni Pulau Labengki dan 90 persen merupakan suku Bajo. Mayoritas mereka mengandalkan laut sebagai sumber pendapatan.
Dengan berkembangnya sektor pariwisata, penduduk Bajo juga mendapatkan penghasilan tambahan melalui homestay dan jasa pemandu wisata.
Darwis, seorang warga Bajo yang bekerja sebagai nelayan sekaligus pemandu wisata mengatakan laut ibarat taman yang menyediakan sumber kehidupan, di sisi lain, baginya juga orang-orang Bajo lainya laut merupakan identitas.
Keberadaan wisatawan memberikan dampak signifikan pada perekonomian warga. Saat ini, Labengki sudah memiliki sekitar 20 homestay yang dikelola oleh warga setempat, dengan total 100 kamar. Setiap homestay dikelola oleh keluarga.
“Dengan adanya wisata, kami bisa mendapatkan penghasilan lebih untuk keluarga. Kami membuat souvenir, rumah yang kami ubah menjadi homestay yang kami sewakan kepada pengunjung, dengan harga kisaran Rp 250 hingga 400 ribu permalam ” jelas Darwis.
Penulis : Rosniawanti